Skip to main content

Kesantunan Berbahasa

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Bahasa memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia bertumpu pada bahasa, mulai dari aktivitas sederhana sampai pada aktivitas yang rumit. Dengan kata lain, manusia tidak mampu hidup tanpa bahasa, karena setiap aspek kehidupan sangat bergantung pada satu kata itu. Tanpa adanya bahasa maka aktivitas manusia tidak akan bisa berjalan dengan normal. Oleh sebab itu, ada yang berpandangan bahwa bahasa adalah kemampuan yang wajar dimiliki oleh setiap manusia karena merupakan kebutuhan pokok dari segala aktivitas (tindakan), baik  aktivitas di lingkungan sekolah, aktivitas di lingkungan masyarakat, maupun aktivitas di lingkungan paling sederhana seperti di rumah.

Bahasa terdiri atas lambang bunyi berupa kata yang dilisankan oleh manusia melalui kemampuan berbicara. Kemampuan tersebut muncul dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh manusia dalam lingkungannya bersama segolongan manusia yang disebut masyarakat. Kemampuan itu  memungkinkan manusia mengungkapkan segala sesuatu yang ada di pikirannya. Ditinjau dari segi fungsi, bahasa bisa diartikan sebagai pengantar interaksi dalam berbagai aspek kehidupan yang bersifat duniawi. Bahasa sebagai pengantar dalam berkomunikasi juga memiliki kerumitan dari segi variasi. Hal tersebut dapat dilihat pada jenis bahasa yang ada pada setiap daerah. Perbedaan variasi tersebut dikenal dengan istilah ‘keberagaman bahasa’.

1

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki beragam bahasa. Keberagaman itu berasal dari banyaknya suku yang mendiami negara tersebut. Tercatat sekitar 442 bahasa yang dimiliki Indonesia, jumlah tersebut terungkap dalam Kongres Bahasa ke-9 yang digelar 2008 silam. Namun, pada tahun 2012 penelitian berlanjut dan didapatkan jumlah bahasa mencapai 546 (Akuntono: 2012). Bahasa Indonesia sendiri lahir dari bahasa Melayu yang dituturkan oleh masyarakat yang mendiami Asia Tenggara. Pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa Negara dan tercatat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 36 (Rahim dan Thamrin Paelori, 2013;6). Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tersebut dimaksudkan menyatukan seluruh bahasa yang ada di Indonesia.

Keberagaman bahasa ditentukan dari kebudayaan yang dianut oleh manusia. Budaya yang dimaksud dapat dilihat dari ras atau suku yang menjadi ciri utama manusia sebagai makhluk sosial. Setiap suku memiliki ciri budaya tersendiri, dan ciri tersebut dominan ditunjukkan pada aspek bahasa. Misalnya saja bahasa yang diujarkan oleh suku Bugis berbeda dengan bahasa yang diucapkan oleh suku Mandar. Demikian pun halnya dengan bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Mandarin yang memiliki perbedaan dengan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang mengakibatkan hal tersebut adalah perbedaan kondisi lingkungan yang didiami oleh masing-masing individu.

Perbedaan bahasa tidak hanya dapat ditinjau dari segi keberagaman bentuknya, tetapi juga pada proses keberlangsungannya. Jika variasi bahasa dari segi bentuk ditentukan oleh suku (budaya) dari segolongan masyarakat maka berbeda halnya dengan perbedaan yang ditinjau dari segi proses keberlangsungan. Proses keberlangsungan yang dimaksud adalah bentuk tuturan yang dituturkan oleh manusia atau sekumpulan masyarakat, baik dari segi kebenaran bahasa maupun kesopanan bahasa yang dikenal dengan istilah ‘Kesantunan Berbahasa’. Dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu terdapat moral. Moral memiliki pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk.

Perbuatan baik seseorang sangat tercermin dari ucapan yang dituturknnya. Oleh sebab itu, dalam berbahasa ada pula kaidah yang mengatur pola bahasa manusia. Kaidah-kaidah tersebut mencakup aturan tindakan dalam bertutur, penggunaan bahasanya, dan interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak ucap (pengujar) bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan dalam interaksi sosial. Kaidah-kaidah dalam bahasa mengatur penutur dalam berbahasa. Keberadaan aturan tersebut dimaksudkan sebagai pengatur etika dalam berkomunikasi. Namun, realisasi kesopanan berbahasa dapat diperinci menurut patokan daerah, sikap penutur, pendidikan, serta profesi atau pekerjaan.

Profesi atau pekerjaan yang digeluti seseorang sangat berpengaruh pada bahasa yang dituturkannya. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena profesi dan bahasa memiliki kaitan yang sangat erat. Semakin tinggi profesi seseorang maka cara penuturan katanya pun akan terdengar tinggi dari segi ‘nilai rasa’. Sedangkan, seseorang yang memiliki pekerjaan seperti petani atau nelayan maka cara penuturan katanya pun akan terdengar kaku. Hal tersebut membuktikan bahwa kemampuan bahasa atau cara seseorang dalam menuturkan kata sangat bergantung pada profesi atau pekerjaan yang digelutinya.

Salah satu fenomena kebahasaan yang berkaitan dengan profesi atau pekerjaan adalah pengemudi kendaraan umum, yang dikenal dengan istilah ‘sopir’. Sopir merupakan salah satu pekerjaan yang paling banyak digeluti oleh masyarakat dari berbagai macam golongan. Pekerjaan tersebut memiliki banyak peluang untuk kalangan ekonomi ke bawah yang tidak memiliki pendidikan tinggi, karena bisa digeluti hanya dengan bermodalkan kemampuan mengemudi. Pekerjaan sopir bisa diklasifikasikan berdasarkan jenis kendaraan yang dikendarai. Ada sopir angkutan umum yang rutenya ke luar daerah dan ada pula sopir angkutan umum yang rutenya berada pada satu wilayah atau kabupaten/kota.

Di Sulawesi Selatan, khususnya daerah Makassar, kendaraan umum yang memiliki rute dalam satu wilayah tertentu dikenal dengan istilah pete-pete. Di antara semua jenis kendaraan umum, pete-pete adalah kendaraan yang paling sering dijumpai karena merupakan alat transportasi masyarakat yang paling umum. Pada wilayah Makassar, pete-pete dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan rutenya. Namun, meskipun diklasifikasikan pada kelompok-kelompok tertentu, pete-pete memiliki satu lajur tetap yang sama, yang dikenal dengan sebutan ‘terminal’.

Terminal merupakan pusat dari pertemuan angkutan umum, baik kendaraan umum dari daerah maupun dari dalam kota. Terminal juga merupakan tempat pertemuan berbagai profesi selain sopir, seperti calo, pedagang asongan, dan kondektur. Sebagai salah satu pusat aktivitas masyarakat, lingkungan terminal sangat berpotensi dijadikan sebagai ‘sarang interaksi’. Maksudnya ialah tempat yang memungkinkan terjadinya proses komunikasi antara masyarakat, baik sopir dengan penumpang, pedagang asongan dengan calo, penumpang dengan pedagang asongan maupun sopir dengan calo. Komunikasi tersebut dapat berlangsung kapan saja, terutama pada saat-saat pencarian penumpang oleh sopir.

Terminal sebagai salah satu pusat aktivitas sosial masyarakat kadang menimbulkan kontroversi pada bidang kebahasaan. Hal tersebut diakibatkan karena seringnya terjadi komunikasi yang tidak semestinya di antara penghuni terminal. Komunikasi yang tidak sesuai tersebut adalah pembicaraan atau tuturan kasar yang acap kali terdengar, baik dari sopir, kondektur, pedagang asongan maupun penghuni terminal yang lain. Berdasarkan pengamatan yang pernah dilakukan peneliti, sering terjadi pembicaraan kasar dari sopir pete-pete terhadap sopir lainnya, dan kadang pula kondektur dengan sopir pete-pete. Salah satu hal yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa seperti itu karena ketidakpuasan sopir pete-pete terhadap kinerja kondektur dalam mencari penumpang, namun kondektur meminta jatah persenan kepada sopir pete-pete.

Apabila kejadian seperti itu terjadi, maka kata-kata makian atau hujatan akan terlontar dari mulut yang terlibat masalah, dan pada akhirnya menimbulkan percekcokan yang sangat kasar (sarkasme). Penuturan kasar tersebut akan menimbulkan respon dari pendengar yang ada pada tempat kejadian. Respon tersebut tentu berupa kata yang serupa dengan yang diucapkan oleh penutur, yakni ungkapan kasar. Kadang, orang lain seperti pedagang asongan yang mendengar peristiwa tersebut, yang sesungguhnya tidak terlibat dalam permasalahan, ikut menggentingkan suasana. Biasanya dilakukan dengan cara memihak kepada salah satu pihak dan ikut melontarkan ucapan sinisme terhadap pihak lain.

Fenomena kebahasaan seperti yang dijelaskan di atas sering terjadi di kalangan sopir dan penghuni terminal lainnya. Fenomena yang bisa dikategorikan sebagai unsur kebahasaan yang tidak lazim. Namun, hal yang sebaliknya juga sering terjadi karena tidak sedikit pula yang menjalin komunikasi baik dengan menggunakan ucapan kasar seperti itu. Jika pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa ucapan kasar di terminal sering kali menimbulkan kemarahan maka hal sebaliknya kadang dapat terjadi, karena menurut fakta yang pernah pula terjadi, ucapan kasar juga biasa digunakan sebagai medium bercanda oleh sopir pete-pete.

Hal tersebut tentu sulit untuk dimengerti oleh orang lain, mengingat ada kesenjangan antara penggunaan bahasa dan penutur di lingkungan terminal. Ucapan kasar akibatnya tidak menentu, dalam artian kadang bisa menimbulkan amarah dan kadang malah memancing penghuni terminal untuk bercanda. Berdasarkan uraian fenomena kebahasaan yang terjadi di lingkungan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ucapan kasar memiliki fungsi ganda pada lingkungan terminal. Kejadian itulah yang menarik perhatian peneliti sehingga ingin melakukan penelitian menyangkut kesantunan berbahasa di terminal.

Fenomena kebahasaan tersebut tentu saja menarik untuk diteliti karena dapat menambah wawasan keilmuan dalam linguistik. Penulis memilih analisis kesantunan berbahasa pada tuturan penghuni terminal berdasarkan pertimbangan bahwa ragam bahasa yang kasar kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat, baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan, seperti pekerjaan yang digeluti penghuni terminal. Namun, dalam penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan penelitian pada tindak tutur sopir pete-pete, karena peneliti beranggapan bahwa sopir pete-pete memiliki peran paling berpengaruh dalam suatu lingkungan terminal.

Adapun terminal yang dipilih peneliti sebagai tempat penelitian adalah Terminal Mallengkeri. Hal ini dilandasi oleh alasan bahwa Terminal Malengkeri merupakan salah satu tempat yang paling sering dilalui oleh pete-pete, baik pete-pete yang rutenya berada di daerah sekitar kota Makassar maupun dari luar daerah, seperti Gowa dan Takalar. Terminal Mallengkeri juga berada pada wilayah yang sangat strategis dan merupakan terminal yang paling banyak dikunjungi oleh masyarakat, sangat berbanding terbalik dengan Terminal Daya yang selalu terlihat sepi. Oleh sebab itu, judul yang diusung pada penelitian ini adalah “Kesantunan Berbahasa Sopir Pete-Pete pada Ranah Terminal Malengkeri Kota Makassar (Studi Kajian Pragmatik)”.

B.  Rumusan Masalah

Pada bagian latar belakang telah diuraikan sedikit permasalahan tentang kesantunan berbahasa pada ranah terminal. Adapun rumusan permasalahan secara rinci yang akan diteliti pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    bagaimana kesantunan berbahasa sopir pete-pete pada ranah Terminal Mallengkeri Kota Makassar?

2.    bagaimana pengaruh kesantunan berbahasa sopir pete-pete terhadap aktivitas di lingkungan Terminal Mallengkeri Kota Makassar?

 

C.  Tujuan Penelitian

Mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    mengetahui kesantunan berbahasa sopir pete-pete pada ranah Terminal Mallengkeri Kota Makassar;

2.    mengetahui pengaruh kesantunan berbahasa sopir pete-pete terhadap aktivitas di lingkungan Terminal Mallengkeri Kota Makassar.

 

D.  Manfaat Penelitian

Suatu penelitian harus mendatangkan dampak positif terhadap peneliti maupun masyarakat. Oleh sebab itu, manfaat yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

1.    Maanfaat Teoretis

Ditujukan kepada mahasiswa yang diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi terhadap salah satu kajian dari bahasa, yakni kesantunan berbahasa pada ranah terminal. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mendatangkan manfaat bagi pembaca sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya yang serupa dengan penelitian ini.

2.    Manfaat Praktis

Manfaat praktis ditujukan kepada peneliti sendiri sebagai pemula, yang diharapkan mampu memberi pemahaman tata cara dalam melakukan penelitian serta sebagai bentuk latihan dalam menulis karya, khususnya karya yang digolongkan sebagai karya tulis ilmiah.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

 

A.  Kajian Pustaka

1.    Penelitian Relevan

Penelitian tentang kesantunan berbahasa telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, baik pada ranah lingkungan sosial maupun di lingkungan sekolah. Salah satu penelitian yang mengacu pada masalah kesantunan berbahasa adalah penelitian yang dilakukan oleh Hendrik dalam tesisnya yang berjudul “Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pasar Sentral Kabupaten Pinrang”. Penelitian tersebut membahas tentang tindak tutur di lingkungan pasar. Subjek penelitiannya adalah masyarakat yang menghuni lingkungan pasar, baik pedagang maupun pembeli atau konsumen.

9

Hasil penelitian menunjukkan Tuturan yang ada di lingkungan Pasar Sentral Kabupaten Pinrang yang dituturkan oleh pedagang, pembeli, tukang parkir, tukang ojek, dan tukang becak lebih didominasi oleh tuturan yang santun dibandingkan dengan tuturan tidak santun. Wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diungkapkan di lingkungan Pasar Sentral Kabupaten Pinrang ada pada ungkapan ‘jelek sekali’, ‘tidak enak’, ‘bosan mi ki’, ‘bangngo’, ‘teppa’ bawanni panreangngi coki’, ‘ceba’, ‘lattai’. Wujud ragam bahasa tersebut tidak enak terdengar dan menyakiti perasaan. Penyimpangan prinsip kesantunan bertutur berdasarkan prinsip kesantunan Leech berupa tuturan yang melanggar maksim kebijaksanaan, maksim kecocokan, maksim kesederhanaan, dan maksim penghargaan.

Selain penelitian yang dilakukan oleh Hendrik, ada pula penelitian yang dilakukan oleh Helda Yusdiana.L dalam bentuk tesis. Judul penelitian tersebut adalah “Kesantunan Modalitas dalam Tindak Tutur Imperatif Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMA Negeri 1 Kelara Kabupaten Jeneponto”. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendrik yang berada pada tataran sosial yakni lingkungan pasar, pada penelitian Yudiana ini dilakukan di lingkungan sekolah. Penelitian tersebut mengacu pada  kesopanan berbahasa guru dan siswa pada pembelajaran.

Hasil penelitian menunjukkan (1) Bentuk kesantunan imperatif guru dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Kelara Kabupaten Jeneponto, yaitu kesantunan imperatif yang bermakna pragmatik imperatif  perintah suruhan, perintah permohonan, perintah larangan, perintah perintah ajakan, dan perintah persilaan. (2) Bentuk kesantunan imperatif siswa dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Kelara Kabupaten Jeneponto terdiri atas dua arah, kesantunan imperatif kepada guru dan siswa. Bentuk kesantunan siswa terhadap guru dan siswa  terdiri atas kesantunan imperatif yang bermakna pragmatik imperatif  perintah suruhan, perintah permohonan, perintah larangan, perintah perintah ajakan, dan perintah persilaan.

Penelitian yang juga membahas masalah kesantunan berbahasa adalah penelitian yang dilakukan oleh Slamet dan Suwarto, dengan judul “Bentuk Tindak Tutur Direktif Kesantunan Berbahasa Mahasiswa di Lingkungan PGSD Jawa Tengah”. Penelitian tersebut bertujuan mendeskripsikan bentuk tindak tutur direktif kesantunan dan ketidaksantunan, prinsip tindak tutur direktif, strategi tindak tutur direktif, urutan kesantunan bentuk tutur berdasarkan persepsi mahasiswa. Penelitian ini bersifat naturalistic dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Subjek penelitannya adalah mahasiswa dan dosen dengan teknik purposive sampling.

Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa bentuk santun tuturan direktif mahasiswa dapat berupa; (1) penanda, kaidah bahasa, dan perilaku santun; (2) berupa maksim kearifan, maksim kemurahan hati, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati; (3) memanfaatkan strategi positif dan negatif. Adapun urutan kesantunannya adalah (a) rumusan pertanyaan berpagar (37,5%); (b) rumusan pertanyaan (15%); (c) isyarat kuat (12,5%); (d) isyarat halus (10%); (e) pertanyaan berpagar (6%); (f) pernyataan keinginan ((3,75%); (g) peryataan eksplisit (3%).

Ketiga penelitian yang dijelaskan di atas merupakan penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti. Hal tersebut dapat dilihat pada kemiripan fokus penelitian yang dijelaskan, yakni tentang kesantunan berbahasa, meskipun masing-masing meneliti subjek yang berbeda. Penelitian yang dilakukan peneliti lebih berfokus pada kesantunan berbahasa di Terminal Mallengkeri Kota Makassar dengan subjek penelitian sopir pete-pete.

 

2.    Pragmatik

Kamus bahasa Indonesia edisi ketiga menerangkan bahwa pragmatik berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji makna tuturan, sedangkan semantik adalah ilmu yang mengkaji makna kalimat; pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar (Leech dalam Valkinz:2013). Dunia makna yang direalisasikan menjadi dunia bunyi pada situasi ujar sangat bergantung pada dunia pragmatik (Chaer, 2009:2)

Jalaludin dalam Valkinz (2013) menyatakan bahwa tujuan utama pragmatik adalah menjawab semua persoalan tentang interpretasi ujaran yang tak dapat dijawab dengan pengkajian makna kalimat semata-mata; segala yang implisit di dalam tuturan tidak dapat diterangkan oleh semantik, tetapi berhasil dijelaskan oleh ilmu pragmatik. Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan/laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain, telaah mengenai kemampuan bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat (Levinson dalam Dariyadi: 2014).

Menurut Kurniawan (2012), pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Berkembangnya ilmu pragmatik dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis bahwa upaya menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Kehadiran pragmatik adalah tahap terakhir yang berangsur-angsur, mulai dari disiplin ilmu yang menangani data fisik tuturan menjadi disiplin ilmu yang sangat luas bersangkutan dengan bentuk, makna, dan konteks (Rahim, 2008:1).

Menurut Firth dalam Rahim (2008:1), kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi partisipasi tindakan (baik tindak verbal maupun non-verbal), ciri-ciri situasi lain yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung, dan dampak tindak tutur dengan bentuk-bentuk perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan. Sementara itu, Hallliday dalam Pujiastuti (2012) memandang studi bahasa sebagai kajian tentang sistem tanda. Sebagai salah satu sistem tanda, menurutnya bahasa adalah sistem makna yang membentuk budaya manusia. Sistem makna ini berkaitan dengan struktur sosial masyarakat. Kata-kata atau secara lebih luas bahasa yang digunakan oleh manusia memperoleh maknanya dari aktivitas-aktivitas yang merupakan kegiatan sosial dengan perantara-perantara dan tujuan-tujuan yang bersifat sosial.

Pragmatik sebagai bagian dari ilmu tanda, sebenarnya telah dikemukakan oleh seorang filsuf yang bernama Charles Morris. Menurut Morris, dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, pragmatik memiliki cabang, sintaktika yaitu studi relasi formal tanda-tanda; semantika yaitu studi relasi tanda dengan penafsirannya. Tetapi, pragmatik yang berkembang saat ini yang mengubah orientasi lingusitik di Amerika pada tahun 1970-an sebenarnya diilhami oleh karya-karya filsuf seperti Austin (1962) dan Searle (1969) yang termasyhur dengan teori tindak tuturnya (Maya, 2012:7).

Tarigan (2009:30) dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Pragmatik, menjelaskan bahwa pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Sedangkan, Nalihati (2015) menerangkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang memiliki kemiripan dengan sosiolinguistik, karena latar belakang munculnya diakibatkan adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Dalam hubungan ini pragmatik dan sosiolinguistik masing-masing memiliki titik sorot yang berbeda dalam melihat kelemahan pandangan kaum strukturalis.

Menurut Rahim (2008;5), secara umum, objek kajian pragmatik dapat dibedakan atas deiksis, praanggapan, tindak ujar, dan implikatur percakapan. Sebagai objek kajian pragmatik, deiksis merupakan bentuk bahasa yang tidak memiliki acuan yang tetap sehingga maknanya sangat bergantung pada konteks kalimatnya. Kata-kata seperti ‘saya di sini’, ‘sekarang’, atau ‘besok malam’ termasuk contoh deiksis, karena kata-kata tersebut tidak memiliki acuan yang jelas dan tetap. Contoh  semacam itu akan berbeda dengan bentuk seperti ‘baju’, atau ’sepatu’ yang memiliki acuan yang jelas. Siapapun yang mengucapkan kata ‘baju’, di manapun dan kapanpun, referensi yang diacunya tetap sama. Berdasarkan konteksnya, deiksis dapat dibedakan atas deiksis persona, deiksis waktu, deiksis tempat, deiksis wacana, dan deiksis sosial.

Apabila sebuah kalimat dinyatakan dengan mengucapkan kalimat itu sehingga tersertakan pula tambahan makna dalam kalimat tersebut, maka itulah yang dimaksud dengan praanggapan. Dengan demikian dapat dipertegas bahwa praanggapan merupakan pengetahuan latar belakang yang dapat memuat suatu tindakan atau ungkapan yang mempunyai makna masuk akal dan dapat diterima partisipan yang terlibat dalam peristiwa komunikasi. Dengan kata lain praanggapan merupakan asumsi pembicaraan yang membuat pendengar menerima pesan tanpa kesulitan.

Menurut Austin dalam Rahim (2008:6), tindak ujar memiliki tataran yang lebih tinggi dibandingkan sebagai sebuah konsep tentang kalimat. Mengucapkan sesuatu berarti melakukan sesuatu sehingga kalimat tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan informasi tetapi dalam hal tertentu berfungsi sebagai pelaksanaan tindakan itu sendiri. Pada dasarnya terdapat beberapa tindakan dalam lingkup tindak ujar, antara lain: permintaan, penawaran, ajakan, teguran, ataupun perintah. Lokusi, ilokusi, dan perlokusi merupakan bagian dari tindak ujar. Lokusi adalah makna dasar dari referensi suatu ujaran dan ilokusi adalah gaya yang ditimbulkan oleh ujaran dan wujudnya dapat berupa perintah, ejekan, pujian, atau lelucon. Sedangkan perlokusi adalah reaksi atau hasil yang muncul akibat ilokusi tersebut.

Implikatur merupakan makna tuturan yang tidak terungkap secara literal pada tuturan itu. Agar dapat memahami makna tuturan, maka implikatur harus didasarkan pada seperangkat asumsi. Makna implikasi dapat dilakukan berdasarkan aturan percakapan, yang terdiri atas; (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim hubungan, (4) maksim cara (Levinson dalam Rahim; 2008). Maksim kuantitas menyangkut jumlah ujaran yang harus disampaikan. Hal-hal yang dianggap tidak penting, tidak perlu disampaikan dalam suatu ujaran. Sedangkan, maksim kualitas menyangkut nilai kebenaran yang seharusnya dalam suatu ujaran. Hal-hal yang dianggap belum jelas kebenarannya tidak perlu disampaikan kepada pendengar, karena bisa menimbulkan konotasi berbeda.

Adapun mengenai maksim hubungan berarti bahwa hal yang disampaikan itu senantiasa mempunyai hubungan dengan sesuatu yang diinginkan atau yang dimaksudkan, sehingga orang lain dapat menangkap makna yang dikandungnya. Maksim cara berkaitan dengan cara menyampaikan ujaran itu yang dilakukan dengan cara yang jelas sehingga pendengar dapat memahami makna ujaran pembicara, tanpa menimbulkan kebingungan bagi pendengar (Rahim, 2008:7).

 

3.    Ragam Bahasa

Jalaluddin (2014:1) menjelaskan bahwa di antara karunia Tuhan yang paling besar bagi manusia adalah kemampuan berbicara. Kemampuan untuk mengungkapkan isi hati dengan bunyi yang dikeluarkan dari mulutnya. Kemampuan tersebutlah yang dimaksud oleh Dardjowidjojo (2010:16) sebagai bahasa, yakni suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

Menurut Samsuri (1983:3), suatu kenyataan bahwa bahasa wajar dimiliki oleh setiap manusia, karena merupakan hal yang paling vital bagi kehidupan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Kaelan (2013:17) dalam bukunya bahwa dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai setiap aspek kehidupan manusia terutama proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia, baik secara objektif maupun imajinatif. Melalui bahasa seseorang dapat menjalin hubungan dengan sesama anggota masyarakat lainnya (Yayuk, 2015:50).

Bahasa memiliki peranan yang primer sebagai alat komunikasi yang primer, hal tersebut dapat dirasakan oleh setiap pengguna bahasa. Kenyataan itu terbukti dengan adanya sejumlah orang yang merasa tidak cukup jika hanya menguasai satu bahasa dari semua bahasa yang ada di dunia (Junus dan Andi Fatimah, 2012:1). Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara  (Roisah: 2014).

Valkinz (2013) mengemukakan bahwa ragam bahasa yang terjadi bergantung pada pemakaian topik yang dibicarakan, misalnya ada yang resmi tidak resmi, santun tidak santun, bijak tidak bijak dan lain-lain. Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Sedangkan, ragam itu timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Adanya berbagai ragam menunjukkan bahwa pemakaian bahasa (tutur) itu bersifat  aneka ragam atau heterogen (Canova: 2016).

Menurut Sulistyaningsih (2015), pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga faktor non-linguistik. Sedangkan, faktor non-linguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa antara lain ialah faktor sosial dan faktor situasional. Adanya kedua faktor itu dalam pemakaian bahasa menimbulkan ragam bahasa yaitu “bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola menyerupai pola umum bahasa induknya”. Adapun wujud ragam bahasa menurut Surya (2016) dapat berupa :

a.    Idiolek, merupakan sifat khas tuturan seseorang yang berbeda dengan tuturan orang lain. Sifat khas itu bisa disebabkan oleh faktor fisik atau faktor psikis;

b.    Dialek, yang dibagi menjadi dua macam yaitu dialek geografis dan dialek sosial atau sosiolek.

1)   Dialek geografis adalah ragam yang timbul karena perbedaan asal daerah penuturnya.

2)   Dialek sosial atau sosiolek adalah ragam yang disebabkan oleh perbedaan kelas sosial penuturnya.

c.    Register yaitu ragam bahasa yang disebabkan sifat-sifat khas kebutuhan pemakaiannya;

d.    Undak-usuk yaitu ragam bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlekutornya.

Variasi atau Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan serta menurut medium pembicara. Menurut Jelita (2013), ragam bahasa juga dapat dibedakan berdasarkan media pembicaraan, yakni berdasarkan bahasa lisan dan bahasa tulisan.

a.    Ragam Bahasa Lisan

Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang diucapkan oleh pemakai bahasa. Dalam ragam lisan, seseorang mengacu pada tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Ragam bahasa lisan meliputi ragam bahasa cakapan, ragam bahasa pidato, ragam bahasa kuliah, dan ragam bahasa panggung.

Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan.

Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.

Ciri-ciri ragam bahasa lisan:

1)   Memerlukan kehadiran orang lain;

2)   Unsur gramatikal tidak dinyatakan secara lengkap;

3)   Terikat ruang dan waktu;

4)   Dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara.

b.    Ragam Bahasa Tulis

Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, sesorang harus memahami aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, seseorang dituntut memenuhi kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide. Ragam bahasa tulis meliputi ragam bahasa teknis yang memperhatikan teknis penulisan, ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa catatan yang mengacu pada ragam bahasa singkat, dan ragam bahasa surat yang bertugas menyampaikan suatu informasi.

Penggunaan ragam bahasa tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, penggunaan ragam bahasa tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur bahasa dalam struktur kalimat.

Ciri-ciri ragam bahasa tulis:

1)   Tidak memerlukan kehadiran orang lain;

2)   Unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap;

3)   Tidak terikat ruang dan waktu;

4)   Dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.

 

4.    Tindak Tutur

Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam  pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki  bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan. Misalnya menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara ini, “Saya memerintahkan Anda untuk meninggalkan gedung ini segera”. Tuturan tersebut dapat dinyatakan dengan tuturan “Mohon Anda meninggalkan tempat ini sekarang juga” atau dengan tuturan “Keluar”. Ketiga contoh tuturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai perintah apabila konteksnya sesuai (Cristonetwo: 2016).

Menurut jenisnya, tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Adapun penjelasan menurut Rahim (2008) dari kedua tindak tutur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a.    Tindak Tutur Langsung

Berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat deklaratif, introgatif, dan imperatif. Secara konfensional, kalimat deklaratif digunakan untuk memberitakan sesuatu, kalimat introgatif untuk menyakan sesuatu, dan kalimat imperatif untuk memerintahkan ataupun mengajak seseorang. Apabila kalimat deklaratif difungsikan secara konvensional untuk menyatakan sesuatu, kalimat interogatif untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat imperative untuk menyuruh ataupun memerintah seseorang maka tindak tutur yang dihasilkan berbentuk tindak tutur langsung.

Khusus untuk tindak tutur langsung masih dibedakan lagi menjadi tindak tutur literal dan tindak tutur non-literal atau tidak literal. Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Tindak tutur langsung tidak literal diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan tetapi kata-kata yang menyusunnya memiliki makna yang berbeda dengan maksud penuturnya. Itulah mengapa disebut sebagai tindak tutur tidak literal.

b.    Tindak Tutur Tidak Langsung

Pengungkapan perintah secara sopan dapat diutarakan dalam bentuk kalimat berita atau tanya agar lawan tutur tidak merasa dirinya diperintahkan. Perhatikan contoh kalimat tindak tutur tidak langsung di bawah ini.

Waskita: “Perutku sakit sekali.”

Hidayat: “Tidak sarapan yah.”

Waskita: “Tadi aku terburu-buru berangkat.”

Hidayat: “Ada makanan di lemari.”

Kalimat “Ada makanan di lemari” di atas diucapkan kepada seorang teman yang membutuhkan makanan, penutur tidak sekadar mengungkapkan tentang adanya makanan di lemari melainkan penutur memerintahkan lawan tuturnya mengambil sendiri makanan yang ada di lemari tersebut. Bentuk tuturan seperti itu dinamakan tindak tutur tidak langsung yang biasanya tidak dapat dijawab secara langsung tetapi tidak segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalamnya.

Tindak tutur tidak langsung juga dikategorikan dalam dua bentuk, yakni tindak tutur tidak langsung literal dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Tindak tutur tidak langsung literal adalah yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya tetapi makna kata-kata yang menyusun sesuai dengan maksud penutur. Sedangkan, tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah yang diutarakan dengan modus dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud.

 

5.    Prinsip Kesantunan Berbahasa

Menurut Yudiana (2013:6), kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Jika dikaitkan dengan bahasa maka kesantunan dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitra tutur (Slamet dan Suwarto, 2012:41).  Prinsip kesantunan menurut Leech dalam Oktaviana (2012) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itu, penutur maupun pendengar menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar.

Setiap kali berbicara dengan orang lain, seseorang harus membuat keputusan-keputusan menyangkut apa yang ingin dikatakannya dan bagaimana menyatakannya. Hal ini tidak hanya menyangkut tipe kalimat atau ujaran apa dan bagaimana, tetapi juga menyangkut variasi atau tingkat bahasa sehingga kode yang digunakan berkaitan tidak saja dengan apa yang dikatakan, tetapi juga motif sosial tertentu yang ingin menghormati lawan bicara atau ingin mengidentifikasikan sebagai anggota golongan tertentu.

Secara umum, santun merupakan sesuatu yang lazim serta dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa, karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi variabel sangat penting dalam kesantunan.

Kegiatan berbicara atau percakapan selalu berhubungan dengan peserta percakapan, yakni diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, kegiatan berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah tekstual, namun juga berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Sebagai retorika interpersonal pragmatik, maka kegiatan berbicara membutuhkan prinsip yang mampu menjaga alur percakapan agar tetap harmonis. Prinsip yang dimaksud yaitu prinsip kesantunan (Hendrik: 2013).

Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragmatik. Oktaviana (2012) menegaskan dalam tulisannya bahwa ada empat ancangan kesantunan dari para ahli yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu:

a.    Kesantunan dilihat  dari pandangan kaidah sosial tokohnya;

b.    Kesantunan dilihat dari pandangan kontak percakapan tokohnya;

c.    Kesantunan dilihat dari pandangan maksim percakapan tokohnya;

d.    Kesantunan dilihat dari pandangan penjagaan muka tokohnya.

Fraser dalam Oktaviana (2012) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji kesantunan bertutur.

a.    Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette).

b.    Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face-saving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip  kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle)

c.    Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.

d.    Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), honorific, dan gaya bicara (style of speaking).

Sedangkan menurut Chaer dalam Oktaviana (2012), secara singkat dan umum ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, simpulan menurut Chaer bisa dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun apabila tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, seseorang tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide.

Dalam model kesantunan, Leech dalam Hendrik (2013) mengatakan bahwa setiap maksim interpersonal dapat dimanfaatkan untuk menentukan sebuah tuturan. Selanjutnya, Hendrik (2013) menguraikan lima kesantunan Leech yaitu :

a.    Cost-benefit scales atau skala kerugian dan keuntungan, menunjukkann pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.

b.    Optionaliity scale atau skala pilihan, menunjukkan banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada mitra tutur.

c.    Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjukkan kepada peringkat langsung atau tidaknya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung, akan dianggap tidak santunlah tuturan itu.

d.    Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun.

e.    Social distance scale menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan.

Leech (dalam Hendrik, 2013) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi, (1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3) pujian/approbation, (4) simpati/symphaty. Leech (1993) sendiri mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun. Ada enam maksim menurut Leech (1993) yakni:

a.    Maksim Kebijaksanaan, yaitu kurangi kerugian orang lain dan tambah keuntungan orang lain;

b.    Maksim kedermawanan, yaitu kurangi keuntungan diri sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri;

c.    Maksim Penghargaan, kurangi cacian pada orang lain dan tambahi pujian kepada orang lain;

d.    Maksim Kesederhanaan, yaitu kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri;

e.    Maksim Pemufakatan, yaitu kurangi ketidaksesuaian anatara diri sendiri dengan orang lain;

f.     Maksim Simpati, yaitu kurangi antipasti antara diri sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.

Senada dengan prinsip di atas, Wijana (1996:55) yang dihimpun dari para ahli mengatakan bahwa prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijakan (tact maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), maxim kesimpatian (sympathy maxim). Dalam model kesantunan, Leech (dalam Hendrik, 2013) mengatakan bahwa setiap maksim interpersonal dapat dimanfaatkan untuk menentukan sebuah tuturan. Lima kesantunan Leech yaitu :

a.    Cost-benefit scales atau skala kerugian dan keuntungan, menunjukkann pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.

b.         Optionaliity scale atau skala pilihan, menunjukkan pada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur.

c.         Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjukkan kepada peringkat langsung atau tidaknya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung, akan dianggap tidak santunlah tuturan itu.

d.         Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun.

Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka orang tersebut akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat pemakai bahasa itu. Jadi, diharapkan pelaku tutur dalam bertutur dengan mitra tuturnya untuk tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal ini untuk menjaga hubungan baik dengan mitra tuturnya.

Kegiatan berbicara atau percakapan selalu berhubungan dengan peserta percakapan, yakni diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, kegiatan berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah tekstual, namun juga berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Sebagai retorika interpersonal pragmatik, maka kegiatan berbicara membutuhkan prinsip yang mampu menjaga alur percakapan agar tetap harmonis.

 

B.  Kerangka Pikir

Keterkaitan antara masalah yang diteliti dengan teori serta subjek/objek yang diteliti dijelaskan pada bagian kerangka pikir. Pada penelitian ini kerangka pikir yang disajikan disingkronkan dengan rumusan masalah yang dijelaskan pada bagian pendahuluan. Tujuannya, agar masalah dan teori bisa relevan dengan simpulan penelitian yang nanti akan dihasilkan. Pada penelitian ini, masalah yang menjadi acuan peneliti adalah kesantunan berbahasa sopir pete-pete (angkutan umum) pada ranah terminal Mallengkeri Kota Makassar, yang dikaitkan dengan masalah kebahasaan (tindak tutur) yang dalam hal ini adalah kesantunan berbahasa.

Penelitian ini dilandasi oleh masalah kebahasaan yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat, dan yang menjadi rujukan peneliti dalam penelitian ini adalah sopir pete-pete. Alasan peneliti memilih sopir pete-pete karena angkutan umum tersebut sangat akrab dengan masyarakat yang ada di kota Makassar. Oleh sebab itu, masyarakat, baik penumpang maupun sopir pete-pete itu sendiri, diharuskan untuk saling berinteraksi. Namun, tindak tutur yang diujarkan oleh sopir pete-pete kadang memiliki perbedaan dengan cara berujar orang yang memiliki pekerjaan atau profesi lain, terutama pada aspek kesantunan berbahasa. Santun tidaknya sopir pete-pete dalam berujar ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah usia dan latar belakang pendidikan. Kesantunan berbahasa sopir pete-pete bisa mendatangkan dampak pada aktivitas masyarakat di terminal, khususnya pada aktivitas sopir pete-pete itu sendiri, baik dampak positif maupun negatif. Adapun bagan dari kerangka pikir seperti yang telah dijelaskan dapat dilihat di bawah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

Kesantunan Berbahasa

Sopir Pete-Pete

(Terminal Mallengkeri Kota Makassar)

 

Prinsip Kesantunan Leech

Maksim Kebijaksanaan

Maksim Kemurahan Hati

Maksim Kecocokan

Maksim Penerimaan

Maksim

Simpati

Maksim Kerendahan Hati

Aktivitas

(Sopir Pete-Pete itu sendiri)

 

Hasil

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Bagan Kerangka Pikir

BAB III

METODE PENELITIAN

A.  Jenis Penelitian

Sesuai dengan jenis penelitian yang menjadi acuan peneliti, penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif digunakan untuk berupaya memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang. Sedangkan, pendekatan kualitatif adalah proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki fenomena sosial dan masalah manusia (Darmadi, 2014:184). Jenis penelitian deskriptif kualitatif dipilih karena penulis mengidentifikasi serta mendeskripsikan masalah tuturan yang menyangkut kesantunan berbahasa sopir pada ranah Terminal Mallengkeri.

 

B.  Lokasi Penelitian

Penelitian dapat dilakukan apabila telah memenuhi prosedur atau ketentuan yang telah ditetapkan. Salah satu syarat sah dari sebuah penelitian adalah memiliki objek yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Selain berkaitan dengan individu (manusia), objek penelitian juga berkaitan dengan tempat proses kegiatan penelitian berlangsung, demikian pun pada penelitian ini. Berdasarkan permasalahan yang ingin diidentifikasi oleh peneliti, maka lokasi penelitian ini ditetapkan pada salah satu lingkungan terminal yang ada di kota Makassar, yakni Terminal Mallengkeri.

Lokasi penelitian dipilih karena memiliki kesesuaian dengan masalah kebahasaan (tindak tutur sopir pete-pete) yang akan diteliti. Alasan utama, karena Terminal Mallengkeri merupakan salah satu terminal yang paling sering dilalui oleh pete-pete. Adapun alasan lain yang menjadi landasan peneliti, karena merupakan terminal tempat akses pete-pete dari daerah lain, seperti Takalar dan Gowa, jika ingin memasuki kota Makassar.

 

C.  Populasi dan Sampel

Pada penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi karena penelitian ini mengacu pada kasus yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak diberlakukan ke populasi. Istilah yang digunakan pada penelitian kualitatif adalah informan atau subjek penelitian (Sugiyono, 2015:300). Pada penelitian ini yang menjadi subjek adalah sopir pete-pete. Subjek penelitian ini terdiri atas 4 orang sopir. Sampel dipilih berdasarkan sistem purposive sampling, yakni teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.

Pertimbangan tertentu tersebut dikaitkan dengan kriteria subjek yang ingin diteliti, dan kriteria yang cocok adalah sopir pete-pete yang dinilai mampu memberikan informasi secara mendalam kepada peneliti tentang aspek kebahasaan yang ingin diteliti. Selain itu, kriteria juga dapat dilihat pada hal lain, misalnya dari jenjang pendidikan, ataupun dari usia. Jenjang pendidikan seorang sopir pete-pete sangat memengaruhi cara pengucapannya dalam bertutur. Oleh karena itu, krteria ini sangat relevan dijadikan sebagai sampel atau sumber data.

Selain kriteria dari jenjang pendidikan, ada pula kriteria kebahasaan sesorang yang bisa dilihat dari usianya, karena usia juga mampu memengaruhi tindak tutur. Semakin dewasa usia seseorang maka kemungkinan penuturan katanya pun terdengar lebih santun karena orang dewasa biasanya masih mengedepankan etika daripada ego. Sebaliknya, semakin muda usia seseorang maka kemungkinan cara penuturannya pun akan terdengar kasar, karena kurangnya pemahaman tentang etika serta masih minimnya rasa untuk bisa mengesampingkan ego. Maka dapat disimpulkan bahwa latar belakang pendidikan dan usia sangat memengaruhi tindak ujar sopir pete-pete.

 

D.  Definisi Operasional

Definisi operasional dibutuhkan agar hal-hal yang menyangkut dengan penelitian ini tidak menimbulkan asumsi berbeda maupun kekaburan terhadap pendapat sesungguhnya yang dimaksud oleh peneliti dalam karya penelitian ini. Komponen yang perlu dijelaskan pada bagian ini adalah istilah-istilah yang menjadi rujukan penelitian. Di antaranya adalah kesantunan berbahasa, tindak tutur, dan kajian pragmatik.

Kesantunan berbahasa dapat didefinisikan sebagai etika dalam berujar. Etika yang dimaksud dibutuhkan untuk menghindari konflik antara penutur dan mitra tutur yang bisa terjadi pada saat komunikasi berlangsung. Adapun pragmatik adalah salah satu kajian bahasa yang mengacu pada makna yang ada dalam bahasa. Sedangkan, tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur juga memiliki  bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan.

 

E.  Instrumen Penelitian

Instrumen yang juga dapat diartikan sebagai “alat bantu” memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap penelitian. Oleh sebab itu, instrumen penelitian sangat dibutuhkan agar penelitian dapat berjalan secara efisien dan mudah. Instrumen penelitian paling utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan oleh Sugiyono (2015:306), bahwa pada penelitian kualitatif, segala sesuatu yang akan dicari dari objek penelitian masih belum jelas dan pasti masalahnya, sumber datanya, dan hasil yang diharapkan juga belum jelas. Oleh sebab itu, instrumen penelitian kualitatif belum dapat dikembangkan sebelum masalah yang diteliti jelas. Jadi, dalam hal ini peneliti adalah instrumen kunci dari penelitian itu sendiri.

 

F.   Jenis dan Sumber Data

Data merupakan sekumpulan hasil pengamatan dan pengukuran yang telah dilakukan oleh peneliti, baik yang diperoleh dari informan maupun yang diperoleh dari hal lain. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yakni data primer dan data sekunder.

1.    Data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari informan, yakni hasil wawancara yang dilakukan dengan sopir pete-pete yang dijadikan narasumber.

2.    Data sekunder, yakni data yang diperoleh melalui proses penelusuran terhadap sumber informasi berupa buku, internet, dan literatur lain. Sumber yang dimaksud adalah literatur yang berkaitan dengan kebahasaan khususnya kesantunan, tindak tutur, serta informasi tentang informan (sopir pete-pete).

 

 

G.  Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam suatu penelitian. Semakin banyak data yang diperoleh dari suatu penelitian, maka semakin representatif pula penelitian yang dilakukan. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan, penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi.

1.    Observasi

Observasi adalah pengamatan atau peninjauan secara mendalam. Apabila dihubungkan dengan penelitian maka observasi dapat diartikan sebagai salah satu teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap sesuatu, baik benda, perilaku, maupun kondisi dari berbagai gejala yang akan diteliti. Observasi dilakukan dengan cara peneliti mendatangi lokasi penelitian yang dalam hal ini adalah Terminal Mallengkeri. Selanjutnya peneliti melakukan pengamatan serta mencatat fenomena-fenommena yang berkaitan dengan permasalahan.

Kegiatan observasi ini dilakukan berulang-ulang secara informal agar dalam proses penelitian, peneliti bisa mendapatkan informasi sebanyak mungkin, baik informasi tentang sopir pete-pete maupun situasi yang ada di lingkungan Terminal Mallengkeri. Beberapa informasi yang harus diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, serta waktu.

2.    Wawancara

Pengumpulan data dengan cara wawancara dilakukan untuk mengetahui informasai dari narasumber (informan). Acuan dari metode wawancara hampir sama dengan angket, hanya saja berbeda pada taraf keberlangsungannya. Jika angket dilakukan dengan cara menyebarkan pertanyaan dalam lembaran (secara tertulis), maka wawancara dilakukan dengan cara menanyakan langsung pertanyaan kepada informan tanpa melalui perantara (lembar pertanyaan), dengan kata lain dilakukan secara lisan. Oleh sebab itu, metode ini mengharuskan peneliti (pewawancara) mengadakan kontak langsung dengan sumber data (informan) dengan cara berinteraksi atau yang biasa disebut berkomunikasi.

Pada teknik pengumpulan data ini, peneliti melakukan percakapan (tanya jawab) kepada sopir pete-pete yang telah dijadikan informan. Wawancara dalam penelitian ini mengacu pada pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah kebahasaan sopir pete-pete yang ada di lingkungan Terminal Mallengkeri. Wawancara ini dilakukan secara mendalam dan terstruktur. Hal yang perlu diperhatikan pada proses wawancara ini adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitivitas pertanyaan, kontak mata, kepekaan nonverbal, dan tentunya adalah jawaban yang diungkapkan oleh narasumber (informan) yang menjadi rujukan peneliti.

3.    Dokumentasi

Teknik pengumpulan data juga dilakukan dengan dokumentasi. Pengumpulan data ini merujuk pada kegiatan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data berupa dokumen-dokumen tertulis serta gambar yang berkaitan dengan penelitian, yang dalam hal ini adalah kesantunan berbahasa sopir pete-pete. Sumber data dari dokumentasi digunakan untuk menguatkan keberadaan data yang telah diperoleh di lapangan melalui observassi, angket, dan wawancara.

 

H.  Teknik Analisis Data

Semua catatan yang diperoleh dari teknik pengumpulan data harus diolah sedemikian rupa agar jelas dan dapat menimbulkan kesan relevan dengan penelitian yang dilakukan. Pengolahan tersebut dikenal dengan istilah “analisis data”. Analisis data dibutuhkan untuk mengolah data yang telah diperoleh dari hasil wawancara, observasi, penyebaran angket, dan dokumentasi. Data-data yang telah diperoleh dari hasil wawancara kepada sopir pete-pete dianalisis secara mendalam agar dapat ditafsirkan.

1.    Reduksi Data

Semua data perlu kembali dinilai secara tepat dan konsisten, karena setiap data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan sopir pete-pete bisa saja bersifat merefleksikan sosok individu. Reduksi data ialah teknik menganilisis data dengan cara merangkum, memilih hal yang bersifat pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang penting. Reduksi data dilakukan dengan tujuan agar dapat memberikan gambaran yang lebih jelas data yang diperoleh dari lokasi yakni Terminal Mallengkeri dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, serta mencari jika diperlukan.

2.    Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan selanjutnya. Bentuk penyajian data antara lain berupa teks naratif, matrik, grafik, maupun bagan. Namun, pada penelitian ini, bentuk penyajian data lebih merujuk pada penyajian secara deskriptif atau naratif.

3.    Menarik Kesimpulan

Teknik analisis data yang terakhir ialah penarikan kesimpulan. Semua data yang telah direduksi, digambarkan lagi secara rinci agar mudah dipahami oleh peneliti maupun orang lain. Data yang dirincikan ini adalah data yang telah diperoleh dari hasil pengumpulan data, baik berupa observasi, angket, wawancara, maaupun dokumentasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.  Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang dijelaskan pada bab ini mengacu pada rumusan masalah yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, yakni mengenai bentuk tindak tutur serta realisasi kesantunan berbahasa sopir pete-pete di lingkungan Terminal Mallengkeri. Uraian ini menggambarkan analisis tuturan langsung yang diucapkan oleh para sopir pete-pete yang ditinjau dari kesantunan berbahasa (prinsip kesantunan Leech).

Pengumpulan data dilakukan dengan cara peneliti terjun langsung ke lapangan, yang dalam hal ini adalah Terminal Mallengkeri. Proses penelitian dari awal sampai akhir dilakukan dengan cara observasi atau mengadakan pengamatan terhadap aktivitas-aktivitas sopir pete-pete yang dilakukan di lingkungan Terminal Mallengkeri. Tuturan antarsopir menjadi salah satu titik acuan penelitian, selain itu tuturan lain seperti tuturan sopir pete-pete kepada pedagang juga menjadi objek kajian peneliti.

Selain observasi, peneliti juga menggunakan teknik wawancara dalam mengambil data. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data berupa usia, asal, serta pengalaman kerja sebagai sopir pete-pete. Pada penelitian ini peneliti menjadikan usia sebagai salah satu tolok ukur terhadap kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech. Peneliti ingin mengetahui, apakah usia dapat berpengaruh pada maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan dan lain-lain. Demikian pun halnya dengan asal serta pengalaman kerja sopir, karena berdasarkan hasil yang telah didapatkan dari observasi, sopir pete-pete yang menghuni Terminal Mallengkeri sebagian besar berasal dari daerah di luar kota Makassar.

Sopir pete-pete yang mengambil rute Gowa-Sentral atau Takalar-Sentral merupakan warga asli Takalar, Gowa, dan adapula yang berasal dari Makassar, seperti MH dan SA. Demikianpun dengan sopir yang mengambil rute Veteran, yang sebagian besar berasal dari Jeneponto. Hanya beberapa di antaranya yang merupakan warga asli Makassar. Sedangkan sopir dengan rute Cendrawasih-Mallengkeri berasal dari berbagai daerah, bahkan banyak yang berasal dari Flores.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti selama dua bulan, pengalaman kerja sopir pete-pete juga sangat berpengaruh pada cara penuturan kalimat. Hal tersebut diakibatkan oleh rentang waktu masing-masing sopir yang berbeda. Sopir yang sudah menginjak usia 40-an sampai 50-an memiliki pengalaman yang lebih lama berda di lingkungan Terminal Mallengkeri. Sehingga kondisi lingkungan serta aktivitas maupun kejadian yang biasa terjadi di lingkungan Terminal sudah tidak asing lagi, termasuk tindak tutur yang dilakukan oleh para sopir.

Adapun sopir yang masih muda, yang berusia sekitar 20 tahun sampai 25 tahun memiliki kondisi yang berbanding terbalik dengan sopir yang usianya sudah tua. Sopir dengan usia muda memiliki pengalaman kerja yang masih muda pula. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan sopir bernama SP (20 tahun), jika usia seorang sopir masih berkisar 20 tahun maka sudah bisa dipastikan bahwa pengalaman kerjanya sebagai sopir pun masih sangat muda. SP (20 tahun) sendiri merupakan sopir yang baru dua tahun menjadi seorang sopir angkutan umum (pete-pete).

Selain data berupa usia seperti yang telah dijelaskan di atas, wawancara juga menjadi salah satu metode yang dilakukan oleh peneliti untuk dapat mengetahui secara langsung tindak tutur sopir pete-pete. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah bentuk wawancara tidak langsung, dalam artian peneliti hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan cara biasa atau dengan pendekatan khusus, sehingga informan tidak mengetahui pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga faktor yang telah dijelaskan di atas sangat berpengaruh terhadap cara berujar sopir pete-pete. Demikian pun dengan sopir yang sudah lama berada di lingkungan terminal. Tindak tutur saling berpengaruh terhadap sopir yang satu dengan sopir yang lain. Oleh sebab itulah, wawancara yang dilakukan oleh peneliti sangat mendukung keabsahan data, sama seperti data yang diperoleh dari hasil observasi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan terkhusus yang diperoleh dari observasi tersebut, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar bentuk tindak tutur yang dituturkan oleh sopir di lingkungan Terminal Mallengkeri dapat dikategorikan sebagai tuturan yang kasar, tidak enak didengar, serta melanggar prinsip kesantunan Leech. Banyak alasan yang melatarbelakangi hal tersebut dapat terjadi. Oleh sebab itu, pada bagian ini akan dijelaskan hasil dari analisis yang dilakukan oleh peneliti terhadap ujaran sopir pete-pete dengan mengacu pada prinsip sopan santun (Leech).

Berikut ini analisis yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan tindak tutur langsung yang diujarkan oleh sopir pete-pete di lingkungan Terminal Mallengkeri. Tuturan yang dianalisis adalah semua bentuk tindak tutur dari data yang diperoleh peneliti, yang tidak memenuhi standar kesantunan Leech. Tuturan yang dianalisis merupakan ujaran yang diperoleh dari hasil observasi dan hasil wawancara.

 

1.    Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan

Kebijaksanaan mengacu kepada sifat atau sikap yang dimiliki oleh manusia. Kebijaksanaan dapat dilihat dari tuturan yang diujarkan oleh seseorang. Tuntunan-tuntunan bertutur bijaksana agar tercipta hubungan yang baik antara penutur dan mitra tutur dijelaskan dalam ilmu bahasa Pragmatik. Gagasan bertutur santun dikemukakan oleh Leech dalam maksim kebijaksanaan, yang mengharuskan peserta tutur agar senantiasa berpegang teguh untuk selalu mengurangi keuntungan sendiri.

Pada tuturan yang dilakukan, banyak terjadi pelanggaran, baik karena spontan maupun karena faktor lain seperti keterbiasaan atau dengan kata lain disengaja. Pelanggaran tuturan juga dilakukan oleh sopir pete-pete di lingkungan Terminal Mallengkeri. Seperti pada tuturan di bawah ini:

DATA NO. 1

 

Sopir A : “Ngngurai Kalomang?” (sambil tertawa)

Sopir B : “Baji’ ji

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete A terdengar tidak sopan karena mengarah pada ejekan fisik sehingga tuturan ini dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Kebijaksanaan.

Tuturan di atas merupakan tuturan yang melanggar maksim kebijaksanaan. Maksud tuturan di atas baik karena menanyakan kabar dari lawan tutur, hanya saja menggunakan bahasa atau panggilan yang bersifat mengejek. “Ngngurai Kalomang?” atau jika diartikan berbunyi “Bagaimana Kalomang (Sejenis keong)?” merupakan ujaran mengejek karena memanggil dengan tidak menggunakan nama asli dari lawan tuturnya.

DATA NO. 2

 

Sopir A : “Kaluru’nu rong

Sopir B : “Ikkau antu appala’ teruskaji nuisseng” (sambil mengulurkan rokok)

Sopir A : “Angngapa mie. Beru paki’ kapang appala’ kodong”

Sopir B : “Hmm…

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete B terdengar tidak sopan karena lawan tutur bisa sakit hati mendengar ucapan seperti itu, sehingga tuturan ini dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Kebijaksanaan.

Tuturan di atas merupakan ujaran yang diucapkan oleh dua orang sopir yang sedang istirahat di salah satu warung di Terminal Mellengkeri. Tuturan pertama merupakan penuturan yang diujarkan oleh sopir pertama ke sopir yang ada di sebelahnya. Sopir A bermaksud meminta rokok kepada sopir yang lainnya, namun jawaban yang dituturkan oleh sopir B terdengar tidak sopan dengan mengucapkan kalimat, “Ikkau antu appala’ teruskaji nuisseng”, yang berarti “Kamu itu hanya tahu minta saja”.

Kedua contoh penuturan sopir pete-pete di atas menunjukkan pelanggaran sopan santun atau maksim kebijaksanaan. Maksim ini meminimalkan kerugian orang lain atau meminimalkan keuntungan diri sendiri dalam proses interaksi. Sementara, tuturan di atas memperlihatkan pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan, karena tuturan antara sopir dengan sopir yang lainnya terdengar sangat tidak sopan. Apabila yang mendapat perlakuan di atas adalah orang lain (bukan sopir pete-pete) pasti orang tersebut akan merasa tidak enak. Itulah kondisi tindak tutur yang ada di lingkungan Terminal berdasarkan maksim kebijaksanaan.

2.    Pelanggaran Maksim Penerimaan

Pada maksim penerimaan, setiap pelaku dalam proses interaksi diharuskan mengurangi keuntungan dirinya dan memaksimalkan keuntungan pihak lain, atau dalam hal ini adalah mitra tutur.  Jika aturan maksim ini dapat dipatuhi, maka keharmonisan dalam interaksi dengan orang lain dapat dibangun dengan mudah, karena ada toleransi. Sebaliknya, pelaku tutur yang melanggar maksim ini tidak akan mampu membangun hubungan yang harmonis dengan mitra tutur karena tidak adanya toleransi yang dapat menjadi penghalau apabila ada ketidaksesuaian dalam interaksi.

Maksim penerimaan sering kali dilanggar oleh sesorang ketika berinteraksi dengan sesamanya. Maksim ini juga sering dilanggar oleh sopir pete-pete ketika berinteraksi dengan sesama sopir di lingkungan Terminal Mallengkeri. Salah satu contoh pelanggaran tersebut dapat dilihat pada percakapan di bawah ini.

DATA NO.3

 

Sopir     : “Kemaeki Uding”

Penjual  : “Tena kuessingi.”

Sopir      : “Angnggapa nakulle? An rinni isumpaeng”

Penjual  : “Tena kucini’ki”

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete terdengar tidak sopan karena terkesan memaksa, sehingga tuturan ini dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Penerimaan.

Tuturan di atas adalah pertanyaan yang diajukan oleh seorang sopir pete-pete kepada seorang penjaga warung yang biasa menjadi tempat istirahat atau berkumpulnya sopir pete-pete di Terminal Mallengkeri. Sopir mencari seorang temannya dengan menuturkan kalimat pertanyaan berbunyi, “Kemaeki Uding?” yang artinya “Di mana Unding”, lalu penjual mengatakan tidak tahu. Tetapi sopir kembali menimpal jawaban yang dituturkan oleh penjual dengan mengucapkan tuturan yang terdengar kasar, yakni “Angnggapa nakulle? An rinni isumpaeng”, artinya “Kenapa bisa? Tadi dia ada di sini”. Pernyataan sopir pada tuturan kedua terdengar memaksa, dalam artian seolah tidak mau menerima pernyataan lawan tuturmya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tuturan yang diujarkan sopir melanggar maksim penerimaan.

DATA NO.4

 

Sopir   : “Veteran Cewek. Naik mi sini”

Penumpang : “Tidak ji Pak”

Sopir   : “Naik miki. Langsung berangkat ji ini. Wei cewek, naik miki”

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete terdengar tidak sopan karena terkesan memaksa, sehingga tuturan ini dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Penerimaan.

Bentuk tindak tutur di atas dilakukan oleh salah seorang sopir pete-pete dengan rute Mallengkeri-Veteran yang sudah mau berangkat. Tindak tutur di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk tindak tutur yang tidak sopan karena sopir berusaha memaksa seorang perempuan yang berada di lingkungan terminal untuk naik di pete-pete yang ia kemudikan. Perempuan tersebut menolak tetapi sopir pete-pete tetap berusaha mengajak dengan mengucapkan kalimat “Naik miki. Langsung berangkat ji ini. Wei cewek, naik miki”. Kalimat tersebut dapat dikategorikan tidak sopan karena memaksa perempuan tersebut yang sudah menolak permintaannya.

DATA NO.5

 

Sopir A : “Jaimi nugappa lurang anne alloa?”

Sopir B : “Paccei, sike’deki kugappa lurang anne alloa”

Sopir A : “Nakke kamma tong ji”

Sopir B : “Allo siala’ anne alloa”

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete terdengar tidak sopan karena terkesan memaksa, sehingga tuturan ini dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Penerimaan.

 

Percakapan di atas merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua orang sopir yang sedang beristirahat di sebuah warung di Terminal Mallengkeri. Bentuk tindak tutur yang diucapkan pada percakapan di atas dapat dikategorikan sebagai tindak tutur yang tidak sopan karena melanggar maksim penerimaan. Hal tersebut dapat dilihat pada ucapan yang diujarkan oleh sopir pete-pete B, yakni “Allo siala’ anne alloa”, yang artinya “Hari sial”. Ungkapan tersebut diucapkan karena sopir tidak mendapatkan banyak penumpang seperti yang diharapkan.

 

3.    Pelanggaran Maksim Kemurahan Hati

Pada maksim kemurahan hati, setiap pelaku dalam proses interaksi diharuskan mengurangi keuntungan dirinya dan memaksimalkan keuntungan pihak lain, atau dalam hal ini adalah mitra tutur.  Jika aturan maksim ini dapat dipatuhi, maka keharmonisan dalam interaksi dengan orang lain dapat dibangun dengan mudah, karena ada toleransi. Maksim ini juga mengaharuskan seseorang menghargai lawan atau mitra tuturnya, karena maksim ini menekankan keberhasilan pembicaraan dapat tercapai apabila orang yang berperan dalam proses komunikasi dapat menghargai lawan atau mitra tuturnya.

Maksim kemurahan hati lebih mengedepankan tuturan yang mengacu pada kalimat ekspresif. Hal ini berarti bahwa tidak hanya dalam menyuruh seseorang harus berlaku sopan tetapi juga ketika mengungkapkan perasaan serta menyatakan pendapat kepada orang lain, yang dalam hal ini adalah lawan tutur atau mitra tutur. Maksud dari kalimat ekspresif adalah apabila seseorang mengungkapkan sesuatu kepada orang lain maka kalimat yang diucapkan harus betul-betul bisa mewakili apa yang penutur rasakan.

DATA NO.6

 

Sopir A : “Maeko angnginung kopi”

Sopir B : “Minum mako. Bambang mi anne siala”

Sopir A : “Angngapako? Sensitif kamma”

Sopir B : “Ededeh… Jangko gangguka Sundala”

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete terdengar tidak sopan karena terkesan menyinggung, sehingga tuturan ini dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Kemurahan Hati.

 

Tuturan di atas tentu terdengar sangat tidak enak atau tidak sopan, karena sopir pertama menawarkan kopi pada temannya yang juga berstatus sebagai sopir. Namun, respon yang diberikan sopir B tersebut sangat tidak mengenakkan karena membalas dengan cara mengumpat. Sopir B mengatakan “Minum mako. Bambang mi anne siala”, lalu kembali dijawab oleh sopir B dengan mengatakan “Angngapako? Sensitif kamma” yang artinya “Kamu kenapa? Senitif sekali”. Pada tuturan di atas sopir B mengutarakan kata-kata kasar kepada sopir A yang menawarkan minum kopi. Bahkan,, sopir B melontarkan panggilan kasar kepada lawan tuturnya dengan mengucapkan “Sundala”, sehingga dapat dipastikan bahwa percakapan di atas melanggar sopan santun, yang dalam hal ini adalah maksim kerendahan hati.

4.    Pelanggaran Maksim Simpati

Maksim simpati merupakan salah satu prinsip dari kesopanan dalam bertutur. Seseorang yang selalu mematuhi maksim ini akan dianggap sebagai seseorang yang selalu mengedepankan perasaan dan kepedulian terhadap orang lain. Kepedulian terhadap perasaan mitra tutur merupakan salah satu kewajiban yang harus dipahami oleh seseorang ketika mengadakan interaksi dengan orang lain. Terutama di saat lawan tutur sedang mengalami kesulitan. Pemahaman seperti ini akan membuat lawan tutur merasa nyaman dalam proses interaksi. Sebaliknya, jika tidak memenuhi maksim ini maka proses interaksi dengan orang lain akan dianggap membosankan.

DATA NO.7

 

Sopir A : “Anngapa natena nubattu risubangngi?”

Sopir B : “Kodi pakkaseakku ka pa’risikki battangku”.

Sopir A : “Mdd… Pacce’na”

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete terdengar tidak sopan karena tidak ada rasa simpati terhadap lawan tutur, sehingga tuturan ini dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Simpati.

Percakapan yang dilakukan oleh dua orang sopir pete-pete di atas dapat dianggap sebagai pelanggaran maksim simpati. Hal tersebut dikarenakan sopir pete-pete A tidak meluapkan ekspresi kepedulian terhadap situasi yang dialami oleh sopir pete-pete B.  Pada percakapan di atas, sopir A bertanya kepada sopir B, mengapa ia tidak bekerja kemarin, lalu sopir B menjawab bahwa ia tidak bekerja karena ia sedang tidak enak badan. Namun, sopir A menanggapi pernyataat sopir B tersebut dengan ejekan lalu tertawa. Hal ini menunjukkan ketidakpedulian sopir A terhadap sopir B dalam percakapan sehingga dapat disimpulkan bahwa percakapan di atas melanggar maksim simpati.

5.    Pelanggaran Maksim Kecocokan

Maksim ini mengharuskan untuk meminimalkan ketidakcocokan seseorang dengan lawan tutur. Seseorang yang mengedepankan maksim ini dalam berinteraksi akan dianggaap santun. Sebaliknya, jika seseorang tidak mematuhi maksim ini maka dianggap tidak santun dalam bertutur atau bahkan dianggap tidak berwawasan luas. Salah satu contohnya adalah:

DATA NO.8

 

Sopir A : “Woee… Bagi-bagi lurangnu Balala!”

Sopir B : “Tea ja’.”

Sopir A : “Balalanu”

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete tidak sopan. Oleh sebab itu, tuturan di atasa dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Kecocokan.

Percakapan di atas merupakan salah satu percakapan yang dilakukan oleh sesama sopir pete-pete di lingkungan Terminal Mallengkeri pada saat kedua sopir tersebut hendak mencari penumpang. Sopir A yang belum mendapatkan seorang penumpang meminta kepada sopir B yang penumpangnya sudah ada lima orang untuk membagi mengalihkan sebagian penumpangnya dengan mengatakan “Woee… Bagi-bagi lurangnu Balala!”. Balala dalam bahasa Makassar artinya “rakus”. Namun, sopir B menolak dengan mengatakan tidak mau. Lalu sopir A kembali menjawab pernyataan sopir B dengan mengatakan hal serupa, yakni “Balala”. Oleh sebab itu, percakapan di atas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sopan santun dalam hal maksim kecocokan.

DATA NO.9

 

Sopir           : “Tidak ada uang kecil Bu”

Penumpang : “Jadi?”
Sopir           : “Uang kecilta. Atau tukarki dulu”

Penumpang : “Buru-buruka ini. Kita mi yang tukarki sama sopir di samping ta”

Sopir           : “Edede, pergi sai miki tukari Bu.”

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete tidak sopan. Oleh sebab itu, tuturan di atas dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Kecocokan.

Percakapan di atas juga merupakan salah satu contoh pelanggaran maksim kecocokan karena tidak adanya kecocokan percakapan antara sopir pete-pete dengan penumpang yang turun di Terminal Mallengkeri. Percakapan tersebut diawali oleh penumpang yang menyodorkan uang lembaran 100 ribu kepada sopir pete-pete. Sopir tersebut menolak dengan mengatakan tidak ada uang kembalian lalu menyuruh penumpang tersebut untuk menukarkannya. Namun, penumpang tersebut menolak dan menyuruh balik sopir pete-pete tersebut. Hal serupa kembali terjadi karena sopir pete-pete kembali menyuruh penumpang tersebut. Oleh sebab itu, percakapan di atas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran maksim kecocokan.

6.    Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati

Maksim kerendahan hati merupakan salah satu prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech. Maksim kerendahan hati mengharuskan seseorang mengurangi pujian pada dirinya sendiri dan memaksimalkan pujian terhadap orang lain yang dalam hal ini adalah lawan tutur. Seseorang yang mematuhi prinsip ini dianggap sebagai orang yang sopan dalam bertutur dan tidak sombong. Pelanggaran terhadap maksim ini bisa mengakibatkan seseorang dianggap sebagai orang yang tidak santun serta sombong dalam bertutur. Selain itu, pelanggaran terhadap maksim ini juga bisa mengakibatkan munculnya stigma negatif untuk seseorang. Serta dapat pula dianggap sebagai orang yang anti sosial dalam pergaulan. Sehingga kemungkinan tidak akan disukai oleh lawan tuturnya. Salah satu bentuk percakapan yang dapat dijadikan contoh yang terjadi di lingkungan terminal sebagai berikut:

DATA NO.10

 

Sopir   : “Kopinnu rong sicangkiri”

Penjual : “Iye, kitayang mi”

 

Analisis:

Tuturan yang diujarkan oleh sopir pete-pete tidak sopan. Oleh sebab itu, tuturan di atasa dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran prinsip kesopanan dengan Maksim Kerendahan Hati.

Tuturan di atas adalah percakapan yang terjadi di lingkungan Terminal Mallengkeri. Pelaku dari percakapan yang terjadi di atas adalah seorang sopir pete-pete dan seorang penjual. Percakapan di atas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran maksim kerendahan hati karena tuturan sopir pete-pete “Kopinnu rong sicangkiri” yang artinya “Kopimu dulu satu cangkir” dinilai tidak sopan. Cara sopir dalam menuturkan kalimat tersebut sedikit kasar dengan nada yang tinggi seolah mengejek penjual atau penjaga warung tersebut. Oleh sebab itu, percakapan di atas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran maksim kerendahan hati.

 

B.  Pembahasan

Pekerjaan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesantunan seseorang dalam bertutur, karena etika dapat diperoleh dari lingkungan yang menjadi tempat seseorang dalam berbahasa. Salah satu pekerjaan yang sangat memengaruhi kondisi tuturan seseorang adalah sopir pete-pete. Terminal merupakan tempat yang sering dijadikan sopir pete-pete sebagai tempat persinggahan. Lingkungan terminal dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat dan tempat untuk bertemu dengan sopir pete-pete yang lain. Oleh sebab itu, di dalam lingkungan terminal memungkinkan terjadinya interaksi antarsopir pete-pete yang satu dengan sopir pete-pete yang lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat keterkaitan yang sangat erat antara kesantunan berbahasa sopir pete-pete dengan lingkungan terminal.

 

1.    Kesantunan Berbahasa Sopir Pete-Pete

Wujud ragam bahasa yang diucapkan di lingkungan Terminal Mallengkeri belum bisa dikategorikan santun jika diukur dengan menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech. Berdasarkan data-data yang didapatkan di lokasi penelitian, hampir semua tindak tutur yang diujarkan oleh sopir pete-pete tidak sesuai dengan kaidah kesantunan dalam berbahasa. Hal tersebut tentu diakibatkan oleh berbagai faktor, namun faktor utamanya adalah karena faktor lingkungan. Terminal merupakan tempat yang didominasi oleh sopir pete-pete, pedagang asongan, dan penjual. Kebanyakan juga didominasi oleh pendatang dari luar kota seperti Takalar dan Jeneponto, bahkan tidak sedikit pula yang berasal dari Flores.

Cara ujar sopir pete-pete dalam berinteraksi dapat dikatakan sangat kasar. Hal tersebut dapat dilihat dari data yang telah diperoleh peneliti di lapangan. Ucapan keseharian sopir pete-pete didominasi oleh ungkapan-ungkapan ejekan yang disertai dengan nada kasar atau sarkasme, seperti Sundala (anak haram), Balala (rakus), kalomang (keong atau jika diartikan secara denotatif maksudnya adalah lamban), dan masih banyak ungkapan-ungkapan lain yang bisa dikategorikan sebagai ujaran yang sangat jauh dari prinsip kesopanan. Pada dasarnya, ungkapan-ungkapan seperti itu dianggap wajar oleh para sopir pete-pete karena bahasa tersebutlah yang menjadi bahasa keseharian di lingkungan Terminal Mallengkeri.

Pelanggaran pada prinsip kesantunan oleh sopir pete-pete paling banyak dilakukan pada maksim penerimaan. Hal ini didasari pada tingkah yang ditunjukkan oleh sopir pete-pete di lingkungan terminal yang cenderung mengungkapkan kata-kata sinisme yang tidak menerima keadaan pada dirinya atau keadaannya. Hal tersebut dibuktikan dari pernyataan Data No.3, “Angnggapa nakulle? An rinni isumpaeng”. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia maka arti atau maksud dari perkataan tersebut adalah “Bagaimana bisa? Tadi dia ada di sini.” Pernyataan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran maksim penerimaan.

Sopir pete-pete pada percakapan Data No.3 terkesan memaksa, dalam artian tidak percaya terhadap ungkapan yang dituturkan oleh lawan tuturnya yang dalam hal ini adalah seorang penjual. Terlebih lagi, sopir pete-pete mengungkapkannya dengan ekspresi sinis dengan nada suara yang seolah menganggap pernyataan penjual tersebut tidak sesuai atau bohong. Berdasarkan pernyataan tersebut maka sopir pete-pete dianggap tidak bisa menerima keadaan yang terjadi pada saat itu.

Ungkapan yang serupa juga terjadi pada Data No.4 yang diperoleh peneliti. Data tersebut didapatkan pada saat peneliti melakukan observasi di lingkungan Terminal Mallengkeri. Pada saat itu seorang sopir pete-pete sedang mencari penumpang dan kebetulan ada seorang perempuan yang lewat tepat di samping mobil. Sopir pete-pete tersebut langsung mengajak dengan ungkapan, “Veteran Cewek. Naik mi sini”, namun perempuan tersebut menolak dengan mengucapkan “Tidak”. Tetapi sopir kembali mengatakan “Naik miki. Langsung berangkat ji ini. Wei cewek, naik miki”. Jika diinterpretasikan dengan mengacu pada prinsip kesantunan maka jelas kalimat tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kalimat yang tidak santun.

Ada unsur penolakan dari sopir pete-pete terhadap jawaban yang diungkapkan oleh perempuan tersebut. Terlebih lagi, sopir pete-pete mengatakan kalimat kedua tersebut dengan kasar. Kata “Wei” pada penggalan kalimat kedua di atas sudah sangat membuktikan bahwa ungkapan itu tidak patut untuk diperdengarkan. Sopir pete-pete seolah memaksa calon penumpang untuk menaiki angkutan yang dikemudikannya, sehingga ungkapan yang tercantum di atas dapat dikategorikan sebagai ungkapan yang tidak santun karena ada pelanggaran terhadap maksim penerimaan yang dilakukan oleh sopir pete-pete.

Pelanggaran kedua juga terjadi pada percakapan (Data No.5) di atas. Pelanggaran tersebut juga terjadi pada maksim penerimaan. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua orang sopir pete-pete yang sedang beristirahat di sebuah warung di Terminal Mallengkeri. Sopir pertama bertanya kepada sopir yang ada di sampingnya tentang penumpang yang sudah ia dapatkan hari ini. Sopir kedua tersebut menjawab bahwa penumpang yang didapanya pada hari itu hanya sedikit. Lalu pernyataan sopir tersebut kembali dijawab oleh sopir pertama bahwa ia pun juga mengalami hal yang sama. Pernyataan sopir tersebut kembali dijawab oleh sopir kedua dengan mengatakan “Allo siala’ anne alloa” yang artinya “Hari sial”.

Ungkapan tersebut jelas merupakan ungkapan yang tidak patut karena tidak sesuai dengan kaidah berbahasa. Ungkapan tersebut menunjukkan makna penolakan terhadap keadaan yang dialami sopir pete-pete. Keadaan tentang penumpang yang tidak memenuhi target keinginan. Jika diinterpretasikan secara dalam, maka dapat disimpulkan bahwa sopir pete-pete yang mengungkapkan kalimat di atas tidak bersyukur dengan apa yang didapatkannya pada hari itu, dan menyalahkan hari atau takdirnya. Oleh sebab itulah, ungkapan tersebut dikategorikan sebagai ungkapan kasar yang tidak santun karena melanggar maksim penerimaan.

Pelanggaran prinsip kesantunan yang kedua paling banyak dilakukan pada maksim kebijaksanaan. Hal tersebut ditunjukkan pada percakapan yang terjadi di lingkungan terminal yang hanya sedikit mengedepankan maksim ini. Ada banyak percakapan yang melanggar kaidah kesantunan ini, namun yang dicantumkan oleh peneliti dalam tulisan ini hanya dua. Kebijaksanaan seseorang tercermin dari cara penuturan kalimatnya, namun pada lingkungan terminal mallengkeri kebijaksanaan dalam bertutur agak susah dijumpai. Hal ini didasari oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah kebiasaan.

Faktor kebiasaan merupakan penyebab utama terjadinya pelanggaran dalam bertutur. Hampir semua sopir pete-pete dipastikan terbiasa melanggar sikap bijaksana dalam bertutur. Hal ini terbukti dari ungkapan-ungkapan yang tidak sesuai dengan maksim kebijaksanaan. Ketidakbijaksanaan dalam bertutur dapat dilihat pada ungkapan seperti mengejek yang dilakukan oleh sopir pete-pete. Salah satu contoh percakapan terhadap pelanggaran maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada interkasi yang dilakukan oleh dua orang sopir pete-pete yang berpapasan di lingkungan terminal.

Sopir pete-pete pertama menyapa seorang sopir pete-pete baru yang masih muda dengan mengatakan “Ngngurai Kalomang?”. Ungkapan tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran maksim kebijaksanaan karena pada kalimat tersebut terdapat kata Kalomang yang artinya adalah “keong”. Maksud ungkapan penutur adalah “Bagaimana Keong?”. Namun, makna kata “keong” yang sesungguhnya pada kalimat tersebut adalah “lamban”, karena sopir pete-pete yang ditujui kalimat tersebut adalah seorang sopir baru yang masih muda. Pergerakan sopir yang diejek tersebut dinilai lamban oleh sopir pertama makanya ia mengungkapkan kata Kalomang  sebagai ejekan kepada lawan tuturnya.

Pelanggaran serupa juga terjadi pada Data No.2 yang diperoleh peneliti. Percakapan tersebut juga dilakukan oleh dua orang sopir pete-pete yang sedang beristirahat di salah satu warung di lingkungan Terminal Mallengkeri. Percakapan tersebut berisi adalah percakapan ringan yang diawali oleh seorang sopir yang meminta rokok kepada rekannya dengan mengucapkan kalimat “Kaluru’nu rong”, yang maknanya adalah meminta rokok. Lalu dijawab oleh lawan tuturnya dengan kalimat “Ikkau antu appala’ teruskaji nuisseng” yang artinya “Kamu itu tahunya minta”.

Tuturan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kesantunan berbahasa karena penutur sama-sama tidak mengedepankan etika dalam berbicara. Pernyataan pertama pada kalimat di atas menunjukkan ketidaksantunan karena cara meminta sopir tersebut dinilai tidak etis. Kalimat yang lebih patut untuk diungkapkan ketika meminta seseuatu hendaknya diungkapkan dengan cara yang lebih santun dari itu, misalnya “Bisa saya meminta rokokmu?”, bukan dengan kalimat “Rokokmu dulu”. Kalimat yang diucapkan sopir tersebut tidak bermakna permintaan tetapi lebih mengarah pada perintah untuk memberikan rokok.

Jawaban dari pernyataan pertama juga dkategorikan sebagai pelanggaran kesantunan dalam berbicara karena jawaban yang dituturkan oleh sopir kedua juga tidak sesuai dengan kaidah kesantunan dalam bertutur. Sopir kedua menjawab dengan pernyataan “Ikkau antu appala’ teruskaji nuisseng”. Jawaban tersebut tentu dinilai kasar karena seolah bermakna mengejek lawan tutur. Pernyataan tersebut kemudian diperparahb dengan pernyataan selanjutnya yang diungkapkan oleh sopir yang tadi dengan mengatakan pembelaan “Angngapa mie. Beru paki’ kapang appala’ kodong”, yang bisa diartikan “Kenapa. Perasaan saya baru meminta”.

Selanjutnya prinsip kesantunan berbahasa juga terjadi pada maksim kemurahan hati. Pelanggaran maksim ini terjadi pada Data No.6 yang diperoleh peneliti dari penelitian. Percakapan yang terjadi pada pelanggaran maksim ini adalah percakapan yang dilakukan oleh dua orang sopir pete-pete yang juga sedang beristirahat di lingkungan Terminal Mallengkeri, tepatnya di sebuah warung kopi. Seorang sopir pete-pete mengajak salah seorang sopir lainnya untuk minum kopi bersama dengan mengucapkan kalimat ajakan “Maeko angnginung kopi”, yang artinya “Ayo minum kopi. Ungkapan ajakan tersebut memang bermakna baik tetapi jawaban dari ajakan tersebut yang tidak sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa.

Lawan tutur dari sopir pete-pete tersebut menjawab sinis ajakan itu dengan tuturan sinis, “Minum mako. Bambang mi anne siala”, yang artinya “Minum saja sana. Panas ini Sial”. Jawaban dari kalimat pertama tentu dapat dikategorikan sebagai ungkapan yang tidak santun, karena ada kata “sial” yang mengikut pada kalimat tersebut, dan acuan dari kata itu adalah sopir yang tadi mengajak untuk minum kopi. Pelanggaran kesantunan pada percakapan di atas tidak hanya sampai di situ saja, karena pada pernyataan berikutnya sopir pete-pete kembali melontarkan ucapan “Angngapako? Sensitif kamma”, artinya “Kamu kenapa? Sensitif sekali”. Lalu kembali pula dijawab oleh lawan tuturnya dengan kalimat “Ededeh… Jangko gangguka Sundala”. Puncak dari ketidaksantunan percakapan tersebut ada pada kata terakhir di kalimat terakhir, yakni kata “sundala”.

Hal yang sama juga tejadi pada percakapan selanjutnya, yakni pada Data No.7. Percakapan tersebut juga dianggap sebagai pelanggaran pada maksim simpati karena percakapan yang dilakukan juga melanggar kaidah kesantunan dalam berbahasa. Percakapan tersebut dimulai oleh salah seorang sopir pete-pete yang bertanya kepada rekannya tentang alasan mengapa kemarin ia tidak datang (bekerja). Kemudian, sopir tersebut (lawan tutur) menjawab “Kodi pakkaseakku ka pa’risikki battangku”, yang artinya “Perasaanku tidak enak karena perutku sakit”. Namun, pernyataan tersebut ditanggapi dengan ejekan oleh sopir pete-pete yang tadi bertanya dengan mengatakan “Mdd… Pacce’na”, artinya adalah manja. Percakapan tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran maksim simpati karena jawaban yang diutarakan oleh sopir pete-pete yang pertama dinilai tidak menunjukkan rasa simpati atau kepedulian terhadap lawan tuturnya.

Adapun pelanggaran kesantunan dalam berbicara juga terjadi pada percakapan selanjutnya, yakni pada maksim kecocokan (Data No.8, No.9, dan data No.10) dan pada maksim kerendahan hati. Pada Data No.8 terdapat percakapan yang juga dilakukan oleh dua orang sopir pete-pete yang sedang menunggu penumpang di Terminal Mallengkeri. Sopir pete-pete yang satunya sudah mendapatkan penumpang sebanyak lima orang dan sopir yang satunya lagi belum mendapat penumpang satu pun.

Ketika ada seorang perempuan yang hendak naik ke pete-pete yang sudah berpenghuni lima orang, sopir pete-pete yang belum mendapatkan seorang penumpang berteriak ke sopir pete-pete di sebelahnya tersebut. Ia berkata “Woee… Bagi-bagi lurangnu Balala!”, artinya “Bagi-bagi penumpangmu Rakus”. Percakapan tersebut jelas menunjukkan pelanggaran kesantunan dalam berkomunikasi. Pertama, ada pada kata “Woee…” yang menunjukkan ketidaksopanan penutur pada lawan tuturnya. Kata “Woee…” adalah bentuk panggilan oleh sopir tersebut.

Pada saat sopir yang dituju pernyataan itu menjawaab “Tea ja’.” Yang artinya “tidak mau”. Sopir pete-pete kembali mengulang perkataannya sebelumnya “Balalanu” yakni “Rakusmu”. Dari dua percakapan bentuk tindak tuturan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai sopan pada percakapan ini sama sekali tidak menunjukkan kesantunan dalam berbicara karena tidak ada kecocokan antara tuturan sopir yang satu (penutur) dengan sopir lainnya (lawan tutur). Oleh sebab itu, percakapan tersebut dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran kesantunan kecocokan.

Pelanggaran maksim yang terakhir adalah pelanggaran maksim kerendahan hati. Percakapan yang menunjukkan pelanggaran ini adalah percakapan singkat pada Data No.10. Adapun pelaku dari percakapan tersebut adalah seorang sopir pete-pete dan seorang penjual. Sopir tersebut hendak memesan secangkir kopi dengan kalimat “Kopinnu rong sicangkiri”. Kalimat tersebut tentu tidak menunjukkan kesantunan karena sopir pete-pete seolah menyuruh dengan kasar penjual tersebut. Oleh sebab itu, tuturan sopir pete-pete bisa dikategorikan sebagai pelanggaran kesantunan berbahasa pada maksim kerendahan hati.

Berdasarkan data dari hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa pelanggaran terjadi pada setiap maksim yang ada. Pelanggaran prinsip kesantunan Leech secara jelas dapat dilihat pada penyajian tabel rekapitulasi data pelanggaran kesantunan setiap maksim di bawah ini.

Tabel 4.1 Rekapitulasi Data

 

No.

 

Pelanggaran Maksim

 

Bentuk Tuturan Kasar

 

Jumlah

 

Persentase

1.

Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan

·   Ngngurai Kalomang

·   Ikkau antu appala’ teruskaji nuisseng

2

20%

2.

Pelanggaran Maksim Penerimaan

·  Angnggapa nakulle? An rinni isumpaeng.

·  Naik miki. Langsung berangkat ji ini. Wei cewek, naik miki.

·  Allo siala’ anne alloa

3

30%

3.

Pelanggaran Maksim Kemurahan Hati

Minum mako. Bambang mi anne siala…

Ededeh… Jangko gangguka Sundala

1

10%

4.

Pelanggaran Maksim Simpati

Mdd… Pacce’na

1

10%

5.

Pelanggaran Maksim Kecocokan

·   Woee… Bagi-bagi lurangnu Balala.

·   Edede, pergi sai miki tukari Bu

2

20%

6.

Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati

Kopinnu rong sicangkiri

1

10%

Jumlah

10

100%

 

Berdasarkan tabel rekapitulasi di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran kesantunan berbahasa paling banyak terjadi pada maksim penerimaan. Hal ini didasari pada tabel rekapitulasi yang menunjukkan persentase pelanggaran maksim penerimaan sebanyak 30%. Selanjutnya, pelanggaran yang juga banyak ada pada maksim kebijaksanaan dengan persentase 20% dan pelanggaran maksim kecocokan dengan persentase juga sebanyak 20%. Pelanggaran maksim kemurahan hati, maksim simpati, dan maksim kerendahan hati masing-masing 10%.

 

2.    Pengaruh Kesantunan Berbahasa terhadap Aktivitas Sopir Pete-Pete

Pada dasarnya, tindak tutur sopir pete-pete di lingkungan Terminal Mallengkeri tidak berpengaruh terhadap aktivitas sopir pete-pete. Realisasi kesantunan berbahasa sopir memiliki taraf tersendiri dan hal itu bisa diterima oleh para penghuni terminal. Meskipun cara bertutur para sopir dikategorikan sebagai pelanggaran dalam berujar, namun anggapan tersebut tidak berlaku untuk para sopir pete-pete. Tuturan yang di luar etika dianggap sebagai bentuk kepedulian dan bentuk candaan oleh para sopir. Kata seperti sundala, balala, siala, dan ucapan-ucapan lainnya tidak akan membuat lawan tuturnya (sesama sopir pete-pete) tersinggung.

Hal ini didasari pada pernyataan yang dikemukakan sendiri oleh sopir pete-pete pada saat wawancara. SP (20 tahun) mengatakan bahwa:

“Tidak ji. Ka bercanda ji toh. Kalau sopir itu bicara sesamanya dengan cara begitu tadi ditau mi kalau bercanda. Itu moa yang bikin kasih dekatki. Kalau sopir dengan sopir baik semua ji. Tidak ada yang bilang saling menjelek-jelekkan.”

 

(wawancara pada tanggal 6 Oktober 2016)

Pernyataan SP tersebut didukung oleh jawaban yang dikemukakan oleh U (43 tahun).

“Nda ji. Kalau mengejek itu paling bercanda-bercanda.

Tidak ada yang berkelahi kalau orang sadar iyya. Karena kalau ada sesuatu iyya ditau ji kalau bercanda jadi tidak ada orang berkelahi. Beda kalau mabuk, tidak sadar. Jadi gampang marah.”

 

(wawancara pada tanggal 6 Oktober 2016)

 

Pernyataan tersebut diperkuat pula oleh informan SA (21 tahun) dan MH (50 tahun)

“Nda ada. Semua sama-sama teman ji. Jadi tidak ada rebut-ribut. Tapi tidak kenal semua.”

 

(wawancara pada tanggal 6 Oktober 2016)

 

“Tidak pernah.”

 

(wawancara pada tanggal 6 Oktober 2016)

 

Keempat pernyataan yang diperoleh dari informan di atas sudah dapat membuktikan bahwa keributan atau pertikaian karena cara sopir pete-pete dalam bertutur tidak memengaruhi apapun terhadap aktivitas atau hubungan pertemanan sopir pete-pete itu sendiri. Hampir semua sopir menganggap ungkapan kasar yang diucapkan adalah bentuk candaan karena tidak pernah diungkapkan dengan cara yang serius. Keributan atau pertikaian terjadi hanya pada saat-saat tertentu. Seperti, ketika sopir tidak sadarkan diri karena di bawa pengaruh alkohol.

Meskipun banyak percakapan di lingkungan Terminal Mallengkeri yang tidak sesuai dengan kaidah kesantunan, namun sopir pete-pete juga masih banyak mengedepankan etika ketika bertutur dengan sopir yang usianya lebih tua. Etika ini hanya berlaku pada sopir pete-pete yang masih muda. Pernyataan ini didasari pada ungkapan yang dikemukakan oleh sopir pete-pete yang dijadikan informan. Keempat informan tersebut mengemukakan jawaban yang hampir sama, seperti pada hasil wawancara di bawah ini.

 

“Baek. Baek semua ji Nak.”

 

(wawancara pada tanggal 6 Oktober 2016)

 

“Jelas mi itu iyya. Ka biar bagaimana pun harus ki sopan sama orang tua. Di mana itu tetap harus begitu. Di sini juga.”

 

(wawancara pada tanggal 6 Oktober 2016)

 

“Bedayya. Tapi sama tonji sebenarna. Yang pasti harus sopang-sopang anak muda ke kita toh. Karena kan muda iyya.”

 

(wawancara pada tanggal 6 Oktober 2016)

 

Pernyataan di atas tidak hanya didukung oleh hasil wawancara kepada sopir pete-pete, tetapi juga dipertegas oleh pernyataan yang didapatkan dari Data No.1 yang padaa bagian sebelumnya telah dipaparkan. Data tersebut adalah data yang mengacu pada pelanggaran maksim kebijaksanaan, yakni:

DATA NO. 1

 

Sopir A : “Ngngurai Kalomang?” (sambil tertawa)

Sopir B : “Baji’ ji”

 

 

Pelanggaran maksim kebijaksanaan di atas hanya terdapat pada ungkapan yang dituturkan oleh Sopir A, tidak pada Sopir B. Sopir B hanya menjawab pertanyaan Sopir A (yang usianya memang lebih tua) dengan santun meskipun dipanggil dengan sebutan Kalomang. Percakapan di atas menunjukkan bahwa memang ada perbedaan cara penuturan sopir pete-pete yang masih mudah kepada sopir pete-pete yang usiany lebih tua. Namun, hal tersebut tidak memberikan pengaruh apapun terhadap aktivitas sopir pete-pete itu sendiri di lingkungan Terminal Mallengkeri.

Penjelasan yang telah dipaparkan di atas sudah membuktikan bahwa meskipun ada kesenjangan cara bertutur sopir pete-pete terhadap prinsip kesantunan dalam hal maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim simpati, maksim kecocokan, dan maksim kemurahan hati. Tetapi, masih ada pula yang mengedepankan prinsip kesantunan yang ditinjau dari segi usia. Namun, untuk melihat pernyataan secara jelas yang diperoleh dari hasil wawancara dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.2 Perbandingan Jawaban Informan Berdasarkan Pertanyaan

yang Merujuk pada Aktivitas Sopir Pete-Pete

 

Pertanyaan Relevan

Informan

I

Informan

II

Informan

III

Informan

IV

Keakraban sesama sopir.

Akrab yang akrab. Bertemanki yang sama.

Aa… iya mungkin mi (akrab).

Tidak ji. Ka bercanda ji toh. Kalau sopir itu bicara sesamanya dengan cara begitu tadi ditau mi kalau bercanda. Itu moa yang bikin kasih dekatki. Kalau sopir dengan sopir baik semua ji. Tidak ada yang bilang saling menjelek-jelekkan.

·         Duduk-duduk ji, cerita sama teman-teman. Tanya kabar.

·         Beda-beda memang. Ada yang kumpul di seblah sana itu warung e, ada juga yang kumpul di tengah begitu (menunjuk arah). Tapi biasa ji ada sopir Cendrawasi kumpul sama-sama Veteran.

Pertikaian (pertengkaran) yang pernah terjadi di Lingkungan Terminal.

Tidak ji. Nda pernah ji.

Nda ada. Semua sama-sama teman ji. Jadi tidak ada ribut-ribut. Tapi tidak kenal semua.

Tidak ji. Itu ji iyya ada biasana yang bertengkar kalau sudah minum toh. Kalau selisih paham mi ka tidak sadar. Begitu pi na ada. Tapi keributan kecil ji. Tidak ji bilang sampai ada polisi atau apa. Tapi kalau sudah mi itu baik mi lagi. Tidak ada ji yang pernah permasalahkani yang begitu-begituwa. Itu pun juga jarang ji. Karena itu ji biasana. Itu ji juga iyya yang pernah kudapat. Ka masih baruka juga toh. Kalau yang dulu-dulua begitu ji juga beng. Sebelumka di sini keributan begitu ji iyya yang ada. Jarang sekali.

Nda ada. Pernah ada tapi bukan ji perkelahian. Masalah-masalah kecil begitu. Biasanya kalau habis minum ....

Penyebab pertikaian (perkelahian)

-

-

Ya kan kalau mabuk mi orang toh tidak sadar mi apa nabilang, apa nabikin. Na itu biasa ada sopir yang begitu. Berkata-kata kasar kalau mabuk. Sembarang nabilang. Bukan Cuma itu, biasa tong karena ada yang kena senggol jadi marah. Tapi sesamanya tong ji iyya yang mabuk.

Nda ada. Pernah ada tapi bukan ji perkelahian. Masalah-masalah kecil begitu. Biasanya kalau habis minum baru ada.

Perbedaan cara bicara sopir muda dengan sopir yang sudah lama.

Baek. Baek semua ji Nak.

Beda apayya? Tidak. Cuma itu ee, kadang itu bapak-bapak karena tua jadi biasaki namarai.

·  Pasti mi iyya itu ada. Kalau bapak-bapak bicara sama bapak-bapak begitu sana e. Tapi kalau anak muda ya gaya anak muda tong.

·  Jelas mi itu iyya. Ka biar bagaimana pun harus ki sopan sama orang tua. Di mana itu tetap harus begitu. Di sini juga.

Bedayya. Tapi sama tonji sebenarna. Yang pasti harus sopang-sopang anak muda ke kita toh. Karena kan muda iyya.

Tanggapan sopir pete-pete jika terjadi pertikaian (akibat tindak tuturnya).

-

-

Ya kata-kata kasar. Kayak nabilangi temanna tolo’. Sebenarnya biasa ji iyya itu kata-kata....

Apa ji. Nda ada. Biasa ji itu.

 

Berdasarkan data yang diperoleh di atas maka dapat disimpulkan bahwa kesantunan berbahasa sopir pete-pete di lingkungan Terminal Mallengkeri tidak memengaruhi aktivitas sopir pete-pete itu sendiri. Hal ini didasari pada kondisi lingkungan sopir pete-pete yang menganggap bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi. Pertikaian atau pertengkaran di lingkungan Terminal Mallengkeri memang biasa terjadi, tetapi hal itu tidak didasari oleh cara bertutur sopir kepadaa sesamanya. Pertikaian biasa terjadi apabila ada hal-hal yang berada di luar ranah kesantunan berbicara, seperti pada saat berada di bawah pengaruh alkohol.

Meskipun pertikaian karena berada di bawah pengaruh alkohol juga biasa terjadi karena tuturan namun, hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip kesantunan berbicara. Karena seseorang yang berada di bawah pengaruh alkohol tidak sadar terhadap ujaran yang diungkapkannya. Oleh sebab itu, peneliti tidak mengategorikan hal tersebut ke dalam bentuk pengaruh tindak tutur sopir pete-pete terhadap aktivitas sopir pete-pete itu sendiri di lingkungan Terminal Mallengkeri, termasuk hubungan pertemanan antarsopir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.  Simpulan

Setelah melakukan analisis terhadap tuturan langsung, baik berupa data yang diperoleh dari hasil observasi maupun dari hasil wawancara, yang diungkapkan oleh sopir pete-pete di lingkungan Terminal Mallengkeri Kota Makassar, peneliti bisa menyimpulkan bahwa tuturan yang diungkapkan oleh sopir pete-pete didominasi oleh tuturan tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan. Wujud ragam bahasa yang diucapkan di lingkungan Terminal Mallengkeri belum bisa dikategorikan santun jika diukur dengan menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech. Berdasarkan data-data yang didapatkan di lokasi penelitian, hampir semua tindak tutur yang diujarkan oleh sopir pete-pete tidak sesuai dengan kaidah kesantunan dalam berbahasa.

Cara ujar sopir pete-pete dalam berinteraksi dapat dikatakan tidak santun. Hal tersebut dapat dilihat dari data yang telah diperoleh peneliti di lapangan. Ucapan keseharian sopir pete-pete didominasi oleh ungkapan-ungkapan ejekan yang disertai dengan nada kasar atau sarkasme, seperti Sundala (anak haram), Balala (rakus), kalomang (keong atau jika diartikan secara denotatif maksudnya adalah lamban), dan masih banyak ungkapan-ungkapan lain yang bisa dikategorikan sebagai ujaran yang jauh dari prinsip kesopanan. Pada dasarnya, ungkapan-ungkapan seperti itu dianggap wajar oleh sopir pete-pete karena bahasa tersebut sudah menjadi bahasa keseharian yang digunakan oleh sopir pete-pete di lingkungan Terminal Mallengkeri.

B.  Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan simpulan yang telah peneliti kemukakan pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini peneliti merekomendasikan beberapa saran yang diuraikan sebagai berikut:

1.    Peneliti mengharapkan ada penelitian lanjutan yang lebih spesifik terhadap kesantunan berbahasa di lingkungan terminal, dengan kajian yang menarik, dan dengan teknik analisis yang lebih mendalam untuk mendapatkan hasil kajian yang lebih relevan serta akurat.

2.    Bagi peneliti yang tertarik mengadakan penelitian sejenis agar lebih berani mengungkapkan fakta-fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan.

3.    Penelitian mengenai kesantunan berbahasa tergolong masih kurang pada ranah tertentu, maka penelitian ini perlu mendapatkan perhatian dari para ahli bahasa, terutama ahli bahasa yang berkompeten dalam bidang kebahasaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Akuntono. 01 Sepetmber, 2012. Jumlah Bahasa Daerah di Indonesia. Kompas.com, hlm.6

Canova, Indo. 2016. Ragam Bahasa, (online), (https://www.scribd.com/doc diakses pada 15 Juni 2016 pukul 12.50).

Chaer, Abdul. 2009.  Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: PT Rineka Cipta

Cristonetwo, Denny. 2016. Tindak Tutur (Austin dan Searle, (online), (https://www.scribd.com diakses pada 15 Juni 2016 pukul 13.17).

Dardjowijojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik; Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Dariyadi, M. Wahid. 2014. Bahasa Pragmatik, (online), (http://tulisanterkini.com diakses pada 15 Juni 2016 pukul 12.59).

Darmadi, Hamid. 2014. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial. Bandung: Alfabeta

Hendrik. 2013. Realisasi Kesantunan Berbahasa di lingkungan Pasar Sentral Kabupaten Pinrang. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Unismuh Makassar

Jalaluddin, Rakhmat. 2014. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Jelita, Ria. 2013. Variasi Penggunaan Bahasa atau Ragam Bahasa, (online), (http://riajelita.tumblr.com diakses pada 15 Juni 2016 pukul 13.49).

Junus, A Muhammad dan Andi Fatimah. 2012. Pembentukan Paragraf Bahasa Indonesia. Makassar: Badan Penerbit UNM

Kaelan. 2013. Pembahasan Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma

Kurniawan. 2012. Pragmatik, (online), (http://eprints.ums.ac.id diakses pada 15 Juni 2016 pukul 12.45).

Maya. 2012. Pragmatik dan Tuturan, (online), (http://eprints.uny.ac.id.pdf diakses pada 15 Juni 2016 pukul 13.16).

Nalihati. 2015. Pragmatik, (online), (http://repository.widyatama.ac.id/ diakses pada 15 Juni 2016 pukul 13.20).

Oktaviana. 2012. Kesantunan Berbahasa, (online), (http://eprints.uny.ac.id.pdf diakses pada 15 Juni 2016 pukul 13.33).

Pujiastuti, Rahayu. 2012. Pembelajaran Bahasa Indonesia secara Pragmatis, (online), (http://digilib.unipasby.ac. diakses pada 15 Juni 2016 pukul 12.45).

Rahim, Rahman. 2008. Meretas Bahasa Mengkaji Pragmatik. Makassar: Lembaga Penerbit Unismuh Makassar

Rahim, Rahman dan Thamrin Phaelori. 2013. Seluk Beluk Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta: Romis Aisy

Roisah. 2014. Ragam Bahasa, (online), (http://roisah.weebly.com/ragam-bahasa.html diakses pada 15 Juni 2016 pukul 12.50)

Samsuri. 1983. Analisis Bahasa; Memahami Bahasa secara Ilmiah. Jakarta: Erlangga

Slamet dan Suwarto. 2012. “Bentuk Tindak Tutur Direktif Kesantunan Berbahasa Mahasiswa di Lingkungan PGSD Jawa Tengah” dalam Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan 41(1): 42

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Sulistyaningsih, L. Siti. 2015. Variasi Bahasa, (online), (http://file.upi.edu/Variasi_Bahasa diakses pada 15 Juni 2016 pukul 13.06).

Surya, Doddy, 2016. Variasi Bahasa dalam Sosiolinguistik, (online), (http://www.academia.edu diakses pada 15 Juni 2016 pukul 12.45).

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung

Valkinz, Wirman. 2013. Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal (Sebuah Kajian Sosiopragmatik), (online), (http://www.kabarguruku.com diakses pada 15 Juni 2016 pukul 13.18).

Yayuk, Rissari. 2015. Tindak Tutur Ekspresif Masyarakat Banjar. Jurnal Ilmiah Kebahasaan, 2(1): 50

Yudiana, Helda. 2013. Kesantunan Modalitas dalam Tindak Tutur Imperatif Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMA Negeri 1 Kelara Kabupaten Jeneponto. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Unismuh Makassar

 

 

 

Lampiran:

Jadwal Penelitian

Jadwal kegiatan penelitian ini disusun dalam bentuk bar chart sebagaimana pada tabel berikut, yang menggambarkan tahapan kegiatan penelitian.

No.

Kegiatan & Ruang Lingkup Penelitian

Mar

Apr

Mei

Juni

Juli

Agust

Sept

Okt

Nov

Des

1.

Kontrak Penelitian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.

Seminar usulan & desain metode pen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3.

Kajian pustaka instrument & ujicoba

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4.

Penetapan populasi&sampel

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5.

Monev internal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6.

Pengumpulan data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7.

Analisis data penel,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8.

Penulisan lap.akhir

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

9.

Sem.hasil penel.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

20

 

Comments

Popular posts from this blog

KRITIK PENGHAKIMAN DAN IMPRESIONISTIK DALAM NOVER MEMORI IN SORONG

  KRITIK PENGHAKIMAN DAN IMPRESIONISTIK DALAM NOVER MEMORI IN SORONG   A.     SINOPSIS NOVEL   Menceritakan tentang seorang gadis bernama Ajeng yang memiliki 3 orang kakak yang saling berbeda sifat satu sama lain, yang pergi ke Sorong untuk urusan pekerjaanya menjadi reporter dan penyiar salah satu televise swasta yang bernama SENADA, sekaligus untuk mencari tahu tentang sosok perempuan yang sempat mendampingi ayahnya saat bertugas di Sorong selama dua tahun pada dua puluh Sembilan tahun yang lalu.             Awal keberangkatannya ke Sorong, ia berkeinginan untuk segera bertemu dan bertanya kepada anneke, sosok orang yang sempat mendampingi ayahnya yang merupakan seorang tentara yang sangat mencintai keluarganya. Selama di sorong ajeng tinggal di rumah sepupunya yang menjadi direktur di salah satu bank milik pemerintah di kota Sorong. Dua hari semenjak ajeng datang ke Sorong, ia di sambut dengan banyak sekali keributan yang terjadi, sehingga ini menjadi sebuah keberuntunga

KRITIK PENGHAKIMAN Karya Sastra JUDICIAL CRITICISM

Kritik penghakiman (judicial criticism) ialah kritik sastra yang berusaha menganalisis karya sastra dan menerangkan efek-efek sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, dan gayanya, serta mendasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluar-biasaan karya sastra. Contoh kritik penghakiman dapat dilihat pada uraian berikut ini. Membaca baris permulaan roman singkat Hamidah barangkali orang akan menyangka, inilah satu di antara pengarang sebelum perang yang menulis dengan teknik lain. Tetapi ternyata setelah kita lanjutkan membaca beberapa kalimat, teknik penulisannya seperti pada umumnya karya-karya masa itu: merupakan garis lurus dari awal sampai akhir. Hanya pengarang menggunakan kalimat-kalimat yang boleh menjadi kalimat akhir cerita sebagai pembuka cerita. Plot lurus seperti ini, tanpak kecakapan pengarang akan mengundang kelemahan-kelemahan, di antaranya faktor rasa ingin tahu pembaca kurang terpusa

ANALISIS PUISI “GAJAH DAN SEMUT” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

  BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Membicarakan puisi berarti membicarakan kebahasaan puisi. Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dari bermacam-macam aspeknya. Puisi adalah bagian dari karya sastra. Membicarakan puisi berarti membicarakan bahasa dalam puisi. Puisi merupakan karya estetis yang memanfaatkan sarana bahasa yang khas Suminto (dalam Diah Eka, 2016: 01). Setiap pengarang menulis puisi berdasarkan ekspresi perasaannya sehingga bahasa yang digunakan bisa dimaknai berbeda. Setiap puisi yang dibuat oleh penyairtentu memiliki makna dan arti di dalamnya yang tidak diketahui secara implisit. Puisi adalah bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dengan menggunakan bahasa pilihan. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.  Apresiasi puisi tidak