Kritik penghakiman (judicial criticism) ialah kritik sastra
yang berusaha menganalisis karya sastra dan menerangkan efek-efek sastra
berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, dan gayanya, serta mendasarkan
pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang
kehebatan atau keluar-biasaan karya sastra. Contoh kritik penghakiman dapat
dilihat pada uraian berikut ini.
Membaca baris permulaan
roman singkat Hamidah barangkali orang akan menyangka, inilah satu di antara
pengarang sebelum perang yang menulis dengan teknik lain. Tetapi ternyata
setelah kita lanjutkan membaca beberapa kalimat, teknik penulisannya seperti
pada umumnya karya-karya masa itu: merupakan garis lurus dari awal sampai
akhir. Hanya pengarang menggunakan kalimat-kalimat yang boleh menjadi kalimat
akhir cerita sebagai pembuka cerita.
Plot lurus seperti ini,
tanpak kecakapan pengarang akan mengundang kelemahan-kelemahan, di antaranya
faktor rasa ingin tahu pembaca kurang terpusat karena datar dan kelurusan
komposisi. Ditambah pula dengan dimasukkannya hal-hal yang tidak perlu sehingga
merusak kesatuan. Rupanya apa yang dialami pengarang dijejalkan begitu saja
tanpa mengingat nilai rasanya. Tanpa adanya pendalaman apakah sesuatu perlu
dimasukkan dalam komposisi, akan menjadikan kesatuan rusak atau tidak wajar.
Digresi atau penyimpangan serupa itu memang sering kita temui pada karya-karya
sezamannya.
Penyakit menceritakan
hal-hal yang tak perlu semakin melenyap seirama dengan menanjaknya halaman.
Tetapi sekaligus telah pula menimbulkan bahaya lain, karena tampaknya pengarang
ingin cepat-cepat menyelesaikan cerita. Dalam buku 72 halaman ini, 32 halaman bagian
depan belum terisi apa-apa, baru setelah menginjak bab III halaman 35 mulai
dengan isi yang agak padat. Kemudian inti buka hanya terletak pada bab IV,
yaitu pada halaman 48 sampai tamat. Karenanya tidak mengherankan kalau bab IV
terlalu padat, seolah hanya garis besar, sebab banyak hal yang masih harus
diuraikan secara lebih luas. Bab IV ini menurut hemat saya berisi empat bab
sekaligus pada halaman 64 mestinya ganti bab, juga halaman 66, demikian pula
halaman 70.
Dengan gaya penceritaan
yang kurang menarik, pengarang menyuguhkan kepada kita peristiwa yang
meloncat-loncat: menceritakan keluarganya, sekolahnya, perjalanannya pulang
setelah ia lulus dari sekolah Normal Putri, menanti pengangkatan, bertemu
Ridhan, datang pengangkatan, mendirikan perkumpulan, pindah ke Palembang,
kehilangan Ridhan. Kepulangannya ke Muntok membawa udara baru: bertemu kasih
dengan Idrus, kasih yang keabadiannya segera terancam karena tiba-tiba ayahnya
meninggal dunia dan ia mesti ikut saudaranya ke Jakarta. Saudaranya yang tidak
senang pada Idrus menahan surat Idrus yang dialamatkan kepada Hamidah. Di
sinilah peristiwa yang bersangkut-paut mulai bergerak untuk mengubah nasib
Hamidah, hendak melepaskan diri dari belitan yang dengan rapi diatur
saudaranya, ialah dengan menulis surat kepada Idrus. Dengan tidak adanya
balasan dari Idrus, keadaan mulai memuncak. Keadaaan itu tidak segera ditarik
pada klimaks. Klimaksnya baru tercapai setelah 10 tahun Hamidah hidup bersama
Rusli: perceraiannya dengan suaminya. Suami yang dengan susah payah berhasil ia
cintai itu telah berbahagia dengan anak dan istri mudanya. Hidup sendiri itulah
akhir cerita.
Kelainan Hamidah dari
pengarang sezamannya adalah pemakaian gaya aku, namun sayang tidak dikembangkan
secara lebih jauh dalam teknik. Hal itu juga ternyata menyeret penampilan
perwatakan, terutama dalam menampilkan tokoh-tokoh lain dalam cerita tidak
hidup, sebab semuanya hanya diceritakan melalui tokoh utama. Melihat kedataran
dan kelurusan komposisi, kemungkinan besar pemakaian tersebut disebabkan cerita
itu merupakan pengalamannya sendiri. Tampaknya Hamidah bercerita persis seperti
apa adanya, tanpa imajinasi yang mampu mengangkat karya itu.
Kegagalam teknik itu
ternyata juga menyeret kegagalan setting
yang tak mampu menciptakan ketegangan dan kerahasiaan cerita. Lingkungan dan
kenangan di asrama Sekolah Normal Putri di Padang Panjang tidak diceritakan
dengan alasan: tidak dapat kukatakan di sini. Karena itu tiba-tiba cerita
melompat setelah ada kabar lulus. Cerita perjalanan pulang hanya sepintas tapi
lengkap. Meskipun yang diceritakan itu seharusnya menarik, tetapi karena
kepolosan gayanya menjadi tak begitu menarik (Prihatmi, 1977).
Contoh di atas memperjelas
bahwa dalam melakukan pendekatan terhadap novel Kehilangan Mestika, karya Hamidah pengarang wanita pada masa Balai
Pustaka. Prihatmi menggunakan pendekatan penghakiman dalam praktik analisis
strukturalnya, menerangkan bagaimana organisasi novel tersebut, dengan
mendasarkan pertimbangan individualnya atas dasar standar-standar umum dalam
karya sastra. Misalnya ” Dalam buku 72 halaman ini, 32 halaman bagian depan
belum terisi apa-apa, baru setelah menginjak bab III halaman 35 mulai dengan
isi yang agak padat. Kemudian inti buka hanya terletak pada bab IV, yaitu pada
halaman 48 sampai tamat”. Oleh karena itu, Prihatmi kemudian menjatuhkan
penilaian bab IV terlalu padat, hanya garis besar, sehingga banyak hal yang
belum diuraikan.
Prihatmi juga menilai
bagaimana gaya penceritaan Hamidah dalam novel itu. Tulisnya gaya penceritaannya
kurang menarik, peristiwanya meloncat-loncat. Juga menilai plot berdasarkan
standar sastra. Plot lurus yang dipergunakan menurut penilaiannya lemah karena
datar dan kelurusan komposisi plotnya. Penggunaan sudut pandang akuan juga
dikomentari karena tidak mengembangkan secara lebih jauh dalam teknik.
Kelemahan lain yang dilihatnya tampak juga dalam menampilkan tokoh-tokoh lain
yang terasa tidak hidup.
Prihatmi dengan demikian,
menilai bahwa novel Hamidah hanya memiliki bobot hampir cukup. Sementara kelebihan
novel tersebut adalah dalam hal penyelaman psikologis dan mengharukan dari
novel ini mampu menutup kelemahannya yang lain.
Comments