Skip to main content

PENOMENA PENOMENA KEBAHASAAN DALAM NILAI KARAKTER

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Bahasa lahir dari masyarakat, bahasa selalu digunakan oleh masyarakat, bahasa membentuk citra diri, karakter, dan kepribadian masyarakat. dalam konteks nyatanya, dinamika kehidupan yang terjadi di masyarakat selalu menggunakan bahasa, karena bahasa adalah alat komunikasi pemikiran, keinginan, pemahaman, pengetahuan dan keunggulan yang senantiasa digunakan oleh masyarakat dalam interkasinya. Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (Hudson 1996).

Masyarakat terus berubah, pun juga bahasa, sehingga bahasa dan realitas sosial tidak bisa dipisahkan. Karena itu, perubahan bahasa terjadi karena perubahan sosial baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Sebaliknya, perubahan sosial berimplikasi pada perubahan bahasa. Karenanya, bahasa tidak hanya dibentuk dan ditentukan, tetapi juga membentuk dan menentukan realitas sosial. Bahasa bukan sekadar alat untuk mengungkapkan pikiran, tetapi wahana komunikasi umat manusia. Kehadiran bahasa dalam kehidupan manusia tidak bisa dianggap secara tiba-tiba, tetapi melalui proses sistem kode atau lambang yang disepakati oleh warga suatu masyarakat atau kelompok secara bersama-sama. Karenanya, bahasa juga dianggap berdimensi sosial. Sebab, bahasa merupakan aspek kegiatan kehidupan sosial manusia.

Tidak banyak yang menyadari bahwa perkembangan bahasa tentu saja termasuk perubahannya mengungkapkan banyak tentang keadaan masyarakat tempatnya bahasa digunakan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan bahasa memang dapat ditinjau semata-mata dari sisi teknis, misalnya bagaimana menyebarluaskan kosa kata, ejaan, pemenggalan kata dan pola kalimat yang benar. Tetapi dari sisi lain, bahasa dapat ditinjau berkaitan dengan perkembangan dalam masyarakat yang lebih mendasar, misalnya mengenai dinamika perubahan sosial, pembentukan dan pergeseran nilai-nilai sosial, bahkan dalam perubahan politik. Semua yang terjadi di masyarakat terungkap sejelas-jelasnya dalam bahasa.

Dengan kata lain, bahasa merupakan cermin paling jelas keadaan masyarakat penggunanya.Bahasa dalam konteksnya bukan hanya peristiwa komunikasi verbal – tekstual semata, bahasa tidak hanya digunakan secara monoton untuk menyampaikan sesuatu ansih melalui kata – kata maupun tulisan. Setiap situasi yang terjadi di masyarakat hampir selalu tercermin di dalam praktik berbahasa. Sebab, salah satu peran bahasa adalah untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial, termasuk peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri (Paina, 2000). Karenanya, situasi yang aman dan damai akan melahirkan simbol-simbol kebahasaan yang mantap dan stabil atau konstan dalam kosa katanya. Sebaliknya, situasi yang bergejolak dan tidak menentu juga akan tercermin dalam ungkapan-ungkapan bahasa yang bersifat ambigu dan makna yang simpang siur. Kesimpangsiuran dan keambiguan makna yang demikian ini merupakan fenomena kebahasaan yang timbul karena adanya gejolak kehidupan di masyarakat.

Dalam ranah politik, bahasa memagang peranan yang sangat penting, tak jarang para politikus di negeri ini menggunakan bahasa sebagai senjata utama untk mendiskreditkan (baca: melemahkan) lawan politiknya, pembunuhan karakter (character assassination) terhadap lawan politik selalu dilontarkan dengan menggunakan bahasa, sementara itu pilihan bahasa yang digunakan untuk pelemahan dan pembunuhan karakter tersebut juga bervariasi, ada yang fulgar, sindiran, jargon yang politik yang berlawanan dengan makna sebenarnya (opposite meaning) serta penyebutan julukan yang beraneka ragam terhadap lawan politik masing-masing. Disamping itu, Bahasa juga memegang peranan penting dalam upaya untuk meyakinkan massa terhadap visi, misi dan orientasi yang ingin diwujudkan oleh elit politik atau partai politik tertentu. Maka dalam hal ini, jalas bahwa bahasa adalah faktor yang urgen dalam pembentukan mindset masyarakat dalam ranah politik di negeri kita ini.

 

B.    Rumusan masalah

Kajian selanjutnya adalah, sejauh mana mana bahasa mampu membentuk karakter masyarakat dalam ranah politik, sosial dan budaya, serta mampukah kebiasaan politik, sosial dan budaya melahirkan citra bahasa yang bermartabat sebagai alat komunikasi dan mengkomunikasikan sesuatu?

 

C.    Tujuan masalah

Dalam rumusan masalah di atas untuk mengetahui sejau mana bahasa membentuk karakter masyarakat dalam ranah politik, sosial dan budaya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian bahasa

Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Argumentasi ini telah dikembangkan oleh Labov (1972) dan Halliday (1973). Alasannya adalah bahwa ujaran mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan. Satu aspek yang juga mulai disadari adalah hakikat pemakaian bahasa sebagai suatu gejala yang senantiasa berubah. Suatu pemakaian bahasa itu bukanlah cara pertuturan yang digunakan oleh semua orang, bagi semua situasi dalam bentuk yang sama, sebaliknya pemakaian bahasa itu berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, baik faktor sosial, budaya, psikologis, maupun pragmatis. Hubungan bahasa dan faktor-faktor tersebut dikaji secara mendalam dalam disiplin sosiolinguistik.

Dari perspektif sosiolinguistik fenomena pemilihan bahasa (language choice) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji. Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan pemakaian bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism (multilingualisme masyarakat) yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah akan ada bab tentang diglosia, apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Apabila dicermati setiap bab dalam karya Fasold (1984), akan jelas bahwa setiap kajian dalam karya itu dipusatkan pada kemungkinan adanya pilihan yang bisa dibuat di dalam masyarakat mengenai penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold (1984) tidak akan diperlukan dalam kajian sosiolinguistik, apabila tidak ada variasi dalam penggunaan bahasa dan pilihan di antara variasi-variasi tersebut.

 

B.    Berbahasa sebagai peristiwa sosial budaya

Dalam kajian sosiolinguistik, bahasa dipelajari sebagai suatu proses sosial yang membentuk budaya, karenanya bahasa tidak mungkin dikaji lepas dari faktor sosial budaya yang berlaku pada saat itu. Oetomo (1991) mendeskripiskan bahwa bahasa bukanlah melulu alat komunikasi yang steril, melainkan juga untuk menunjukan identitas sosial budaya, untuk memelihara hubungan sosial budaya dan acapkali merupakan peristiwa sosial budaya. Dalam dimensi ini tentulah kita akan kehilangan identitas sosial dan budaya manakala suatu komunikasi yang terjadi lepas dari peristiwa berbahasa dan konteks bahasa itu sendiri.

Sementara itu, Kartomiharjo (1989) menyebutkan peristiwa berbahasa oleh masyarakat tergantung dalam konteks pembicaraan yang sedang dibicarakan, tidak selalu harus menampilkan bentuk kenyataan yang sebenarnya dalam penggunaan bahasa itu. Lebih lanjut kartomiharjo menjelaskan bahwa dalam bahasa Indonesia misalnya, kita mengenal kata “minta”, akan tetapi kata tersebut jarang sekali digunakan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari. Sebagai contoh peristiwa komunikasi yang terjadi antara seorang suami yang dengan sangat rela menyerahkan seluruh pendapatannya kepada istrinya tidak menggunakan kata “minta” kepada istrinya jika ia menginginkan sesuatu baik uang maupun kebutuha lainnya, walaupun demikian sang istri akan langsung mengerti dengan maksud dan tujuan suami tersebut; hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa komunikasi sebagai berikut:

Suami : Bu… rambutku sudah panjang lho…!!!
(istri yang baik tentu tidak akan berkata)
Istri : ya digelung saja pak,, kenapa rupanya….?

Akan tetapi istri yang baik tentu akan langsung mengerti akan maksud dan tujuan suami tersebut dan berkata: “iya pak, 20 ribu cukup lah itu pak untuk pangkas rambut sekalian beli rokok bapak…”

Petikan dialog diatas lebih lanjut oleh Austin (1962) dikatakan sebagai peristiwa tindak tutur (speech acts). Speech acts (tindak tutur) memiliki tiga unsur penting yaitu locution act (ujaran yang disampaikan), illocution (makna yang terkandung dalam ujaran) serta perlocuttion (refleksi/ tanggapan yang diberikan oleh pendengar terhadap maksud dari pembicara). Peristiwa bahasa selalu terkait antara kondisi realitas dengan maksud dan tujuan yang ingin diraih dalam peristiwa tersebut, sebagai contoh ketika sepasang suami dan istri sedang berbelanja di pasar sentral dan kebetulan lewat di pertokoan baju, sang istri melihat ada baju yang menarik dan berkata:

 

Istri : pak, baju itu cantik dan baru modelnya ya..
Suami yang baik dan mengerti tentu tidak akan berkata:
Suami : ya, memang ini toko, tentu semua baju cantik dan modelnya baru, kalau yang tidak cantik dan bekas ya dijual di kaki lima sana.
Akan tetapi suami yang baik pasti akan bilang: “nunggu gajian bulan depan ya bu, kita beli bedak untuk si kecil dulu”.

Contoh dialog yang masih menghubungkan antara realitas sosial dengan keinginan yang ingin dicapai dapat dicerna ketika seorang suami yang sudah satu bulan meninggalkan istri untuk mengikuti seminar Pendidikan Internasional di Jakarta kemudian berkata kepada istrinya:

Suami : Bu… sudah jam 11 ya, ayo’..
Istri yang penuh pengertian dengan kondisi suami tentu tidak akan berkata:
Istri : ya pak, ini memang sudah malam
Tetapi ia akan mengatakan:
Istri : Waduh lagi berhalangan pak, bapak lupa ya…
Atau ia akan mengatakan: “tunggu dulu sebentar pak, si upik belum tidur…”

Beberapa dialog diatas adalah peristiwa bahasa sekaligus pada saat yang sama merupakan peristiwa budaya yang jelas menunjukkan bahwa makna kalimat jsutru diperoleh bukan dari kebenaran gramatikal kalimat itu sendiri, akan tetapi justru diperoleh dari peristiwa budaya sesuai dengan konteks dan setting dimana bahasa itu digunakan.

Tentunya apabila peristiwa berbahasa seperti tersebut diatas dimaknai sesuai dengan makna gramatikal – tekstualnya dengan tanpa melihat faktor sosial dan budaya yang mengiringinya, maka yang akan terjadi adalah konflik horizontal antar pelaku dialog.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mengamati bahwa gaya bahasa seseorang atau pilihan ragam bahasa (language choice) seseorang akan sangat terkait dengan faktor yang oleh oetomo (1981) disebut sebagai faktor “luar bahasa”. Artinya dalam konteks ini tidak seorang pun akan berbahasa yang sama dengan lawan berbicara yang berbeda, baik dari sisi umur, tingkat pendidikan, tingkat sosial, jenis kelamin, kekerabatan, pekerjaan dan sebagainya. Seseorang akan mengatakan: “terbang kemana aja kau bro, kok lama kali ga muncul”, kepada tema sejawatnya yang sudah lama tidak dilihatnya. Hal ini tentu berbeda apabila dia bertemu dengan dosennya yang sudah lama tidak datang mengajar ke kampus karena menjadi pembicara pada salah satu seminar di kabupaten Toba samosir, tentu dia akan berkata: “apa kabar mam, kami ga jumpa mam beberapa hari ini, mam sibuk ya”. Hal tersebut jelas membuktikan bahwa pilihan ragam bahasa (language choice) sangat bergantung pada setting dan stratifikasi sosial dimana bahasa itu digunakan (Rahardjo, 2002).

Sosiolinguistik beroperasi untuk menghubungkan anatara dua variabel yang mempengaruhi aspek kebahasaan (Rahardjo, 2002). Ini dapat kita lihat ketika seorang penceramah dengan tegas dan semangatnya berbicara didepan audiennya seraya berkata “ yang benar telah datang dan yang batil akan lenyap”. Dalam kalimat tersebut terkandung dua variabel, yaitu pertama variabel linguistik, artinya kalimat tersebut masih mengandung pertanyaan siapa, kapan dan dimana yang tentunya hal tersebut akan diperjelas dengan variabel sosial, yaitu kejelasan makna karena situasi dan kondisi dimana kalimat itu digunakan.

Dari sini jelas bahwa dalam kaitanya, berbahasa adalah suatu peristiwa sosial dan budaya, bahwa antara bahasa dan konteks sosial tidak bias dipisahkan, sampai akhirnya berbahasa dalam kontek sosial melahirkan suatu kebudayaan dimasyarakat. Hal ini bias dipahami karena bahasa hakikatnya adalah sarana untuk menyampaikan sikap pribadi dan hubungan antar pribadi yang terjadi dalam interaksi masyarkat (Rahardjo, 2002).

Dalam konteks ini brown and Yule (1983) menyebutnya sebagai “Interactional Function” sementara oleh Halliday (1976) dinamakan “Interpersonal Function” yang tentunya bukan sekedar mengutamakan aspek ideational function akan tetapi lebih jauh lagi, penggunaan bahasa dalam konteks ini lebih mengedepankan aspek interaksioa, karena berbahasa dalam ranah ini sekaligus membentuk sosial, dan budaya, pun juga sebaliknya setting sosial dan kondisi budaya mendorong pemilihan ragam bahasa (language choice) yang sesuai dengan konteksnya.

Jadi bisa dibenarkan apa yang dikatakan oleh kartomiharjo (1989) bahwa komunikasi interpersonal lebih banyak digunakan dimasyarakat dan mempengaruhi kondisi bahasa, pembentukan sosial dan budaya masyarakat.

 

C.    Bahasa ditengah transformasi politik Indonesia kontemporer

Politik tentu tidak asing lagi bagi telinga rakyat Indonesia, setelah lepas dari hegemoni kekuasaan orde baru, kemudian masuk kedalam era baru yang lebih dikenal dengan era reformasi, dan sampai sekarang kita masih berada di era reformasi. Masyarakat telah disuguhi dengan perubahan-perubahan diberbagai sektor, Tentunya implikasi dari perubahaan tersebut membawa dampak yang besar disemua lini penting negeri ini, khususnya politik. Realisasi sistem politik yang lebih systemic, transparan, akuntabel, kredibel, jujur dan selalu berpedoman pada kepentingan rakyat bukan kepentingan sesaat para penguasa menjadi misi dari perubahan politik di era ini.

Usaha untuk memerankan peran politik sebaik mungkin terlihat dari usaha-usaha yang dilakukan oleh para elit politik di negeri ini dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya, ranah hukum bekerja maksimal dengan dibentuknya Mahkamah konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi (baca: KPK), dan reformasi ditubuh Polri sebagai aparat garda depan penegak hukum di negeri ini. Begitu juga ranah Ekonomi, ranah pendidikan, pemerintahan, kesemua ranah tersebut mengalami perubahan mendasar demi mewujudkan perubahan yang lebih baik yang berorientasi pada kepentingan rakyat dan menumbuhkan martabat bangsa. Hal diatas diupayakan sebagai mindset bangsa ini untuk mewujudkan demokrasi yang dicita-citakan.

Dalam dunia politik, peranan bahasa sangat besar. Proses politik merupakan praktik komunikasi, bagaimana mendayagunakan bahasa sebagai alat komunikasi politik yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks sosial, politik, dan kultural, bahasa digunakan untuk mengontrol dan mengendalikan masyarakat melalui pengontrolan makna. Panggabean (dalam Santoso, 2003:4) mengatakan tokoh-tokoh politik mempergunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan pendapatnya melainkan untuk menyembunyikannya.

Hal itu karena di balik pikiran itu terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan. Untuk menyembunyikan pikiran-pikiran politik tersebut, bahasa politik harus ditata sedemikian rupa karena dalam struktur linguistiknya penuh dengan muatan kekuasaan yang tersembunyi.

Bahasa sejatinya merupakan piranti komunikasi universal yang sudah ada sejak peradaban umat manusia itu lahir. Sebagai piranti komunikasi, bahasa akan terus berkembang seiring dengan dinamika zaman dan masyarakat penggunanya. Bahasa, dengan demikian, akan terus ada dan eksis hadir di tengah-tengah peradaban umat manusia sebagai media komunikasi dan interaksi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam ranah politik dan perubahannya. Bahasa sebagai alat penyampaian ide, tujuan, serta kepentingan tentunya mengambil bagian dari perubahan ini, tidak ada satupun perubahan ranah politik dinegeri ini yang luput dari bahasa sebagai alat komunikasinya.

Bahasa selalu menjadi otak dari pembentukan karakter politik yang ingin dibangun oleh para elit politik (Rahardjo: 2008). Karenanya, mustahil penyampaian visi, misi, orientasi, ide gagasan dan kepentingan yang ingin disampaikan oleh para elit politik sampai kepada rakyat tanpa melalui penggunaan bahasa, dan tentunya pilihan bahasa (Language choice) haruslah mampu merepresentasikan maksud yang ingin disampaikan.

Sementara itu, bahasa dalam sudut pandang politik kekuasaan, Bahasa adalah senjata mamatikan bagi kekuasaan, seperti yang dikemukakan Barnes (2004:2) bahwa politik adalah suatu seni atau kegiatan untuk memperoleh kekuasaan dan menambah kekuasaan. Dengan demikian, politikus harus menguasai bahasanya untuk alasan penting karena siapapun yang menguasai bahasa, ia akan berkuasa.

Akan tetapi, pendapat Barnes tersebut dapat sebaliknya, dengan bahasa seseorang dapat tercerabut dari kekuasaannya. Contoh konkretnya adalah pernyataan Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang gemar membuat blunder bahasa, “Anggota DPR kok seperti taman kanak-kanak”, “Gitu saja kok repot”, “Ga jadi presiden ga pathe’en”. Pernyataan tersebut menyebabkan anggota DPR gerah dan akhirnya melawan Gus Dur. Kontroversi bahasa pada akhirnya membuat Gus Dur jatuh dari kekuasaan.

Pernyataan Gus Dur dianggap oleh DPR saat itu sebagai suatu ‘keterkejutan” bahasa. Barangkali hal semacam ini (Keterkejutan) lebih dikarenakan kungkungan (hegemoni) bahasa yang telah diderita oleh rakyat Indonesia selama kekuasaan orde baru, sehingga para elit politik saat itu merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Gus Dur merupakan suatu hal yang tabu dan melanggar aturan – aturan maksim pragmatisme bahasa yaitu maksim norma dan maksim kesantunan berbahasa.

Bahasa politik sangat erat kaitannya dengan upaya untuk merebut simpati rakyat. Ia hadir dan dibutuhkan untuk menumbuhkan pencitraan tertentu agar rakyat terpengaruh dan tersugesti oleh propaganda dan ikon-ikon politik yang ditawarkan. Dalam konteks demikian, seorang politisi yang cerdas, dengan sendirinya perlu memiliki kecerdasan linguistik dalam upaya membangun komunikasi dan interaksi dengan publik. Ini artinya, tuturan (speech) politik yang mereka lontarkan idealnya mengandung muatan dan misi kerakyatan melalui bahasa yang sederhana, gampang dicerna, dan terhindar dari kesan bombastis.

Bahasa politik sungguh harus bisa mengkomunikasikan maksud dan tujuan dari para elit politik kepada rakyat sebagai subyek ide maksud dan tujuan tersebut. Penggunaan bahasa yang lugas, sederhana, gampang dicerna dan tidak terlalu membabi buta akan dengan mudah dicerna oleh rakyat, karena ketika sedang membuat pernyataan pernyataan politik walaupun para elit politik tidak berhadapan langsung secara visual dengan rakyat akan tetapi sejatinya mereka sedang berkomunikasi dengan rakyat lewat pernyataan  pernyataan yang disampaikan, hal inlah yang menurut Brown & Yule (1983) dikatakan sebagai “Interactional function” dalam proses Interactional function, pembicara  para elit poitik melalui pernyataan-pernyataannya harus mampu mengkomunikasikan ide dengan bahasa yang bisa dicerna oleh rakyat. Karena pada dasarnya ketika para elit politik membuat pernyataan maka sesungguhnya mereka telah melakukan fungsi seperti disebut oleh Halliday (1973) sebagai fungsi interpersonal meaning.

Namun, sungguh disayangkan, ketika Pemilu sudah menjelang babak-babak akhir, rakyat di negeri ini disuguhi dengan permainan bahasa politik “kekerasan” antar parpol atau antar caleg. Perang iklan di media yang memanas atau maraknya baliho politik melalui tampilan wajah narsis yang elitis dan tidak pede, merupakan salah satu indikator, betapa politisi kita selama ini abai terhadap bahasa politik yang berbasis kerakyatan. Mesin politik yang mereka gunakan untuk mendulang suara rakyat tidak lagi digerakkan dengan semangat dan nurani kerakyatan, tetapi semata-mata untuk menjegal dan melumpuhkan lawan politik yang hendak menjadi rivalnya. Rakyat yang sudah lama menunggu realisasi janji-janji yang selalu digelontorkan dari mimbar-mimbar kampanye justru dikebiri dan dimarginalkan.

Hal serupa juga dapat kita cermati dan amati saat ini, ketika sedang bergulir skandal Bank Century, maka perang bahasa politik pun kembali muncul. Pilihan-pilihan (language choices) yang digunakan oleh para elit politik untuk menjustifikasi kebenaran masing-masing baik oleh kelompok pendukung bailout maupun kelompok penolak cenderung lebih banyak mengarah pada eufemisme bahasa serta menjurus pada sarkasme bahasa.

Hal ini dapat kita lihat dari ungkapan-ungkapan pendukung bailout seperti “Bailout adalah keputusan yang tepat untuk menahan inflasi karena bank Century adalah Bank yang “gagal berdampak sistemik”. Dari kalimat itu muncul pertanyaan, apa maksud dari “gagal berdampak sistemik” istilah ekonomikah? Atau justru hanya pengkaburan dari kata “bankrut”. Demikian juga dengan tudingan kelompok penolak bailout Century yang mengatakan “KPK main mata dalam kasus century”. Kenapa harus kata “main mata” yang digunakan? Kenapa tidak langsung saja ditegaskan bahwa ada indikasi KPK sengaja mengulur waktu untuk menyelesaikan kasus Century ini. Inilah yang mungkin selaras dikatakan oleh Rahardjo (2008) bahwa bahasa politik saat ini telah masuk kembali kepada bahasa eufimisme bahasa seperti yang terjadi dalam masa Orde Baru lalu. Sungguh sangat disayangkan.

Akhirnya, Bahasa politik sesungguhnya harus berbasis kerakyatan, karena dalam konteks ini, bahasa merupakan piranti komunikasi politik, baik verbal maupun nonverbal, yang menjadikan rakyat sebagai subjek yang perlu diangkat harkat dan martabatnya menuju nilai-nilai kemanusiaan sejati. Rakyat tak lagi dimanfaatkan dan dimobilisasi untuk kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat, tetapi benar-benar memanusiakan mereka melalui konsistensi antara kata dan tindakan. Rakyat tak lagi butuh janji-janji politik yang mengapung-apung dalam slogan, tetapi butuh realisasi dan bukti konkret. Bukan janji, melainkan bukti. Hiperbolisme dan eufemisme bahasa melalui penggunaan ungkapan yang cenderung manis dan berlebihan justru akan menjadi bumerang bagi politisi kita ketika mereka gagal mewujudkan janji-janji itu.

 

D.    Penomena-penomena kebahasaan sebagai pembentuk nilai karakter

Pada pembahasan penomena kebahasan sebagai pembentuk nilai karakter, ada salah satu masalah terdapat pada penomena kebahasaan yaitu perkembangan bahasa gaul di kalang anak remaja

1.      Perkembangan Bahasa Remaja

Bahasa gaul sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunikasi tertentu. Tapi karena sering juga digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.

Kita pasti sering mendengar istilah-istilah gaul seperti cupu, jayus, atau jasjus dan juga sebagainya. Bahkan mungkn kita sendiri sering menggunakannya dalam obrolan sehari-hari dengan teman-teman. Sebagai anak gaul, ya kita senang-senang saja menggunakan kosakata baru yang tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Paling-paling guru bahasa Indonesia atau orang tua kita saja yang agak risi kalau kebetulan mereka mendengarnya.

Seharusnya mereka tidak perlu merasa terganggu mendengar bahasa gaul zaman sekarang. Toh di saat mereka muda dulu, mereka juga punya bahasa gaulnya sendiri. Iya, bahasa gaul tidak hanya muncul belakangan ini saja, tapi sudah muncul sejak awal 1970-an. Waktu itu bahasa khas anak muda bisa disebut bahasa prokem atau bahasa okem. Salah satu kosakata bahasa okem yang masih sering dipakai sampai sekarang adalah “bokap”.

Bahasa okem awalnya digunakan oleh para preman yang kehidupannya dekat sekali dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Istilah-istilah baru mereka ciptakan agar orang-orangdi luar komunitas mereka tidak mengerti. Dengan begitu mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk membicarakan hal negatif yang akan maupun yang telah mereka lakukan.
Karena begitu seringnya mereka menggunakan habasa sandi mereka itu di berbagai tempat, lama-lama orang awam pun mengerti yang mereka maksud. Akhirnya mereka yang bukan preman pun ikut-ikutan menggunakan bahasa ini dalam obrolan sehari-hari sehingga bahasa okem tidak lagi menjadi rahasia. Kalau tidak percaya coba tanya bokap atai nyokap kita , tabu tidak mereka dengan istilah mokal, mokat, atau bokin. Kalau mereka tidak mengerti artinya, berarti dimasa mudanya dulu ereka bukan anak gaul.

Dengan motif yang lebih kurang sama dengan para preman, kaum waria juga menciptakan sendiri bahasa rahasia mereka. Sampai sekarang kita masih sering mendengar istilah “bencong” untuk menyebut seorang banci? Nah, kata bencong itu sudah ada sejak awal 1970-an juga, ya..hampir bersamaan dengan bahasa prokem. Pada perkembangannnya, konon para waria atau banci inilah yang paling rajin berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang kemudian memperkaya bahasa gaul. Kosakata bahasa gaul yang berkembang belakangan ini sering tidak beraturan atau tidak ada rumusnya, sehingga kita perlu menghafal setiap kali muncul istilah baru. Misalnya untuk sebuah lawakan yang tidak lucu, kita bisa menyebutnya garing atau jayus. Ada juga yang menyebutnya jasjus. Untuk sesuatu yang tidak oke, bisa kita sebut cupu. Jayus dan cupu bisa dibilang kosakata baru. Ini berbeda dengan bahasa okem dan bahasa bencong yang populer di tahun 1970-an. Misalnya kata bokap dan bencong merupakan kata bentuan dari kata bapak dan banci.

Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antarsesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah sosial komunitas-komunitas masyarakat atau bangsa. Pemahaman bahasa sebagai fungsi sosial menjadi hal pokok manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya.
Bahasa bersifat manasuka (arbitrer).

Oleh karena itu, bahasa sangat terkait dengan budaya dan sosial ekonomi suatu masyarakat penggunanya. Hal ini memungkinkan adanya diferensiasi kosakata antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perkembangan bahasa tergantung pada pemakainya. Bahasa terikat secara sosial, dikontruksi, dan direkonstruksi dalam kondisi sosial tertentu daripada tertata menurut hukum yang diatur secara ilmiah dan universal. Oleh karena itu, bahasa dapat dikatakan sebagai keinginan sosial (Suara Karya, 2006). Disamping fungsi sosial, bahasa tidak terlepas dari perkembangan budaya manusia. Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Bahasa dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga, bahasa dapat disebut sebagai cermin zamannya.

Sumarsono dan Paini Partana dalam Sosiolinguistik (2006, hal) menyatakan bahwa bahasa sebagai produk sosial atau produk budaya. Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan manusia. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, dan sebagai wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Keraf (1980:3) yang menyatakan bahwa bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai (1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) alat komunikasi, (3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.

Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri dipergunakan untuk mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain.

Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari pembicaraan seseorang memperlihatkan segala keinginannya, latar belakang pendidikannya, sosial, ekonomi. Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus dapat menandai indentitas kelompok dalam suatu masyarakat.

Menurut Pateda (1987:4) bahwa bahasa merupakan saluran untuk menyampaikan semua yang dirasakan, dipikirkan, dan diketahui seseorang kepada orang lain. Bahasa juga memungkinkan manusia dapat bekerja sama dengan orang lain dalam masyarakat. Hal tersebut berkaitan erat bahwa hakikat manusia sebagai makhluk sosial memerlukan bahasa untuk memenuhi hasratnya.

Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antaranggota masyarakat. Sedangkan sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.

Bahasa berperan meliputi segala aspek kehidupan manusia. Termasuk salah satu peran tersebut adalah untuk memperlancar proses sosial manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Nababan (1984:38) bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan bahasalah yang memungkinkan pengembangan kebudayaan sebagaimana kita kenal sekarang. Bahasa dapat pula berperan sebagai alat integrasi sosial sekaligus alat adaptasi sosial, hal ini mengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial. Bahasa disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Proses adaptasi ini akan berjalan baik apabila terdapat sebuah alat yang membuat satu sama lainnya mengerti, alat tersebut disebut bahasa.

Dari uraian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Kartomiharjo (1982:1) menguraikan bahwa salah satu butir sumpah pemuda adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan,bahasa Indonesia. Dengan dengan demikian bahasa dapat mengikat anggota-anggota masyarakat pemakai bahasa menjadi masyarakat yang kuat, bersatu, dan maju.

 

2.     Sejarah Pemakaian Bahasa Gaul

Bahasa prokem awalnya digunakan para preman yang kehidupannya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Istilah-istilah baru mereka ciptakan agar orang-orang di luar komunitas tidak mengerti. Dengan begitu, mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk membicarakan hal negatif yang akan maupun yang telah mereka lakukan (Laman Wilkipedia Indonesia, 2005).
Para preman tersebut menggunakan bahasa prokem di berbagai tempat. Pemakaian bahasa tersebut tidak lagi pada tempat-tempat khusus, melainkan di tempat umum.

Lambat laun, bahasa tersebut menjadi bahasa yang akrab di lingkungan sehari-hari, termasuk orang awam sekalipun dapat menggunakan bahasa sandi terebut.

Karena begitu seringnya mereka menggunakan bahasa sandi tersebut di berbagai tempat, lama-lama orang awam pun mengerti maksud bahasa tersebut. Akhirnya mereka yang bukan preman pun ikut-ikutan menggunakan bahasa ini dalam obrolan sehari-hari sehingga bahasa prokem tidak lagi menjadi bahasa rahasia.

Sebuah artikel di Kompas berjudul So What Gitu Loch….(2006: 15) menyatakan bahwa bahasa prokem atau bahasa okem sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.

Lebih lanjut, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa pada tahun 1970-an, kaum waria juga menciptakan bahasa rahasia mereka. Pada perkembangannya, para waria atau banci lebih rajin berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang kemudian ikut memperkaya khasanah perbendaharaan bahasa gaul.
Kosakata bahasa gaul yang berkembang belakangan ini sering tidak beraturan dan cenderung tidak terumuskan. Bahkan kita tidak dapat mempredeksi bahasa apakah yang berikutnya akan menjadi bahasa gaul.

Pada mulanya pembentukan bahasa slang, prokem, cant, argot, jargon dan colloquial di dunia ini adalah berawal dari sebuah komunitas atau kelompok sosial tertentu yang berada di kelas atau golongan bawah (Alwasilah, 2006:29). Lambat laun oleh masyarakat akhirnya bahasa tersebut digunakan untuk komunikasi sehari-hari.

Terdapat berbagai alasan kenapa masyarakat tersebut menggunakan bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh kelompok atau golongan sosial lainnya. Alasan esensialnya adalah sebagai identitas sosial dan merahasiakan sesuatu dengan maksud orang lain atau kelompok luar tidak memahami. Kompas (2006: 50) menyebutkan bahwa bahasa gaul sebenarnya sudah ada sejak tahun 1970an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu digunakan untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena intensitas pemakaian tinggi, maka istilah-istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari.

Hal ini sejalan dengan laman Wilimedia Ensiklopedi Indonesia (2006), yang menyatakan bahwa bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir ahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasa para bajingan atau anak jalanan disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman. Lebih lanjut dalam Pikiran Rakyat, tercatat bahwa bahasa gaul pada awalnya merupakan bahasa yang banyak digunakan oleh kalangan sosial tertentu di Jakarta, kemudian secara perlahan merambah kalangan remaja terutama di kota-kota besar.

Dalam sebuah milis (2006) disebutkan bahwa bahasa gaul memiliki sejarah sebelum penggunaannya popular seperti sekarang ini. Sebagai bahan teori, berikut adalah sejarah kata bahasa gaul tersebut:

a.      Nih Yee…

Ucapan ini terkenal di tahun 1980-an, tepatnya November 1985. pertama kali yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang pelawak bernama Diran. Selanjutnya dijadikan bahan lelucon oleh Euis Darliah dan popular hingga saat ini.

b.     Memble dan Kece

Dalam milis tersebut dinyatakan bahwa kata memble dan kece merupakan kata-kata ciptaan khas Jaja Mihardja. Pada tahun 1986, muncul sebuah film berjudul Memble tapi Kece yang diperankan oleh Jaja Mihardja ditemani oleh Dorce Gamalama.

c.      Booo….

Kata ini popular pada pertengahan awal 1990-an. Penutur pertama kata Boo…adalah grup GSP yang beranggotakan Hennyta Tarigan dan Rina Gunawan. Kemudian kata-kata dilanjutkan oleh Lenong Rumpi dan menjadi popular di lingkungan pergaulan kalangan artis. Salah seorang artis bernama Titi DJ kemudian disebut sebagai artis yang benar-benar mempopulerkan kata ini.

d.     Nek…

Setelah kata Boo… popular, tak lama kemudian muncul kata-kata Nek… yang dipopulerkan anak-anak SMA di pertengahan 90-an. Kata Nek… pertama kali di ucapkan oleh Budi Hartadi seorang remaja di kawasan kebayoran yang tinggal bersama neneknya. Oleh karena itu, lelaki yang latah tersebut sering mengucapkan kata Nek…

e.      Jayus

Di akhir dekade 90-an dan di awal abad 21, ucapan jayus sangat popular. Kata ini dapat berarti sebagai ‘lawakan yang tidak lucu’, atau ‘tingkah laku yang disengaca untuk menarik perhatian, tetapi justru membosankan’. Kelompomk yang pertama kali mengucapkan kata ini adalah kelompok anak SMU yang bergaul di kitaran Kemang.

Asal mula kata ini dari Herman Setiabudhi. Dirinya dipanggil oleh teman-temannya Jayus. Hal ini karena ayahnya bernama Jayus Kelana, seorang pelukis di kawasan Blok M. Herman atau Jayus selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh dengan maksud mencari perhatian, tetapi justru menjadikan bosan teman-temannya. Salah satu temannya bernama Sonny Hassan atau Oni Acan sering memberi komentar jayus kepada Herman. Ucapan Oni Acan inilah yang kemudian diikuti teman-temannya di daerah Sajam, Kemang lalu kemudian merambat populer di lingkungan anak-anak SMU sekitar.

f.      Jaim

Ucapan jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito, seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak buahnya untuk menjaga tingkah laku atau menjaga image.

g.     Gitu Loh…(GL)

Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di kawasan Kebayoran. Gina mempunyai seorang kakak bernama Ronny Baskara seorang pekerja event organizer. Sedangkan Ronny punya teman kantor bernama Siska Utami. Suatu hari Siska bertandang ke rumah Ronny. Ketika dia bertemu Gina, Siska bertanya dimana kakaknya, lantas Gina ngejawab di kamar, Gitu Loh. Esoknya si Siska di kantor ikut-ikutan latah dia ngucapin kata Gitu Loh…di tiap akhir pembicaraan.

3.     Alasan remaja menggunakan bahasa gaul

Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa tersebutlah yang sangat rawan terhadap hal-hal baru yang belum dikenal. Tidak peduli itu hal yang baik atau bukan, hal tersebut bukan merupakan hal yang penting utnuk dibicarakan, yang mereka tangkap adalah bagaimana mereka dapat mencerna segala hal yang didapatnya dari luar.

Bahasa remaja atau yang lebih dikenal sebgaia bahasa gaul saat ini sudah menjadi trend topik. Keberadaanya sangat dipertanyakan dan ditelusuri dari banyak kalangan. Meskipun bahasa gaul merupakan bahasa yang sudah bersahabat dikalangannya, posisinya sangat menggangu keberadaan bahasa Indonesia. Dimana bahasa gaul lebih mendominasi dibandingkan bahasa Indonesia, hal itu dapat menyebabkan kepunahan pentingya menggunakan bahasa Indonesia.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya sudah terlahir bahasa-bahasa alay yang sebenarnya itu merupakan rahasia, sekarang ini bahasa tersebut sudah tenar dikalangan remaja pada umunya. Setiap kata yang diucapkan selalu mencabtumkan kosa kata yang sulit dimengerti maupun dipahami. Sebagai bukti bahasa gaul yang kini lebih mendominasi adalah terlihat pada cara berbicara remaja saat ini, terutama mahasiswa STKIP PGRI Jombang sendiri. Ketika berbincang dengan teman mereka menggunakan bahasa yang bersahabat, bisa juga menggunakan bahasa gaul. Hal tersebut mereka bawa didalam kelas pula, yang mengakibatkan ketidakteraturan dalam berbahasa.

Meskipun sudah disebut mahasiswa, tidak menutup kemungkinan mereka tidak dapat mengguaka bahasa Indinesia yang baik dan benar, dan masih saja menyelipkan bahasa-bahasa gaul dalam pembicaraan resminya. Seperti pada waktu presentasi, presentasi merupakan forum yang resmi danharus menggunakan bahasa yang resmi pula. Akan tetapi, kenyataanya sangat berlainan. Bahasa yang mereka gunakan memang bahasa Indonesia, secara tidak sadar ataupun sadar mereka masih saja mencantumkan atau mengikut sertakan bahasa gaul mereka ketika presentasi.

Dalam berkomunikasi sehari-hari, terutama dengan sesama sebayanya, remaja seringkali menggunakan bahasa spesifik yang kita kenal dengan bahasa ‘gaul’. Disamping bukan merupakan bahasa yang baku, kata-kata dan istilah dari bahasa gaul ini terkadang hanya dimengerti oleh para remaja atau mereka yang kerap menggunakannya. Menurut Piaaget (dalam Papalia, 2004), remaja memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap formal operasional.
Piaget menyatakan bahwa tahapan ini merupakan tahap tertinggi perkembangan kognitif manusia. Pada tahap ini individu mulai mengembangkan kapasitas abstraksinya. Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosakata remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang lebih kompleks.

Menurut Owen (dalam Papalia, 2004) remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metaphor, ironi, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku.
Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul.

Disamping merupakan bagian dari proses perkembangan kognitif, munculnya penggunaan bahasa gaul juga merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Menurut Erikson (1968), remaja memasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang dominant terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas. Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa gaul ini merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak.

Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama.

Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok sosial tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan bervariasi. Kebervariasian bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, variasi bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.

Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan kebervariasian juga. Istilah pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Variasi bahasa dilihat dari segi penutur oleh Pateda (1987: 52)dibagi menjadi tujuh, yaitu glosolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen, intonasi, dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahsa saja), rol (peranan yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam interaksi sosial), status sosial, dan umur.

Variasi bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.
Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa. Sebuah bahasa, bahasa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara.

Sedangkan Ktidalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pembicaraan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaianya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut.

Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada pemakaian bahasa dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persuratkabaran), kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pembicaraan atau cara pengungkapan dapat berupa sarana atau cara pemakaian bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa tulis. Sehingga, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain. Pemakaian ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi pemakaian.

Hal ini sebagai indikasi bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya keanekaragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat dapat diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang, bahasa yang dipakai memperlihatkan perbedaan. Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya.

Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa termasuk bahasa gaul remaja menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan.
Terdapat dua situasi yang menggolongkan pemakaian bahasa di dalam masyarakat, yaitu situasi resmi dan tidak resmi. Bahasa yang digunakan pada situasi resmi menuntut penutur untuk menggunakan bahasa baku, bahasa formal. Penggunaan bahasa resmi terutama disebabkan oleh keresmian suasana pembicaraan atau komunikasi tulis yang menuntut adanya bahasa resmi. Contoh suasana pembicaraan resmi adalah pidato, kuliah, rapat, ceramah umum, dan lain-lain. Dalam bahasa tulis bahasa resmi banyak digunakan dalam surat dinas, perundang-undangan, dokumentasi resmi, dan dan lain-lain. Situasi tidak resmi akan memunculkan suasana penggunaan bahasa tidak resmi juga. Kuantitas pemakian bahasa tidak resmi banyak tergantung pada tingkat keakraban pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dalam situasi tidak resmi, penutur bahasa tidak resmi mengesampingkan pemakaian bahasa baku atau formal. Kaidah dan aturan dalam bahasa bahasa baku tidak lagi menjadi perhatian. Prinsip yang dipakai dalam bahasa tidak resmi adalah asal orang yang diajak bicara bisa mengerti. Situasi semacam ini dapat terjadi pada situasi komunikasi remaja di sebuah mal, interaksi penjual dan pembeli, dan lain-lain. Dari ragam tidak resmi tersebut, selanjutnya memunculkan istilah yang disebut dengan istilah bahasa gaul. Ismail Kusmayadi (Pikiran Rakyat, 2006) mengkawatirkan terkikisnya bahasa Indonesia yang baik dan benar di tengah arus globalisasi. Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari semakin tinggi. Dan yang lebih parah makin berkembangnya bahasa slank atau bahasa gaul yang mencampuradukkan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum. Bahasa gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer. Oleh sebab itu, bahasa gaul dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti halnya bahasa lain, bahasa gaul juga mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dapat berupa penambahan dan pengurangan kosakata. Tidak sedikit kata-kata yang akan menjadi kuno (usang) yang disebabkan oleh tren dan perkembangan zaman. Maka dari itu, setiap generasi akan memiliki ciri tersendiri sebagai identitas yang membedakan dari kelompok lain. Dalam hal ini, bahasalah sebagai representatifnya.

Bahasa prokem biasa juga disebut sebagai bahasa sandi, yaitu bahasa yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu (Laman Pusat Bahasa dan Sastra, 2004). Sarana komunikasi seperti ini diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Tumbuhkembang bahasa seperti itu selanjutnya disebut sebagai perilaku bahasa dan bersifat universal. Artinya bahasa-bahasa seperti itu akan ada pada kurun waktu tertentu (temporal) dan di dunia mamapun sifatnya akan sama (universal).
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakainnya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di luar lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Jadi, kehadirannya di dalam pertumbuhan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah tidak perlu dirisaukan karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan berkembang sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    KESIMPULAN

Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri dipergunakan untuk mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain.

Bahasa Remaja dengan istilah bahasa gaul merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa tersebutlah yang sangat rawan terhadap hal-hal baru yang belum dikenal. Tidak peduli itu hal yang baik atau bukan, hal tersebut bukan merupakan hal yang penting utnuk dibicarakan, yang mereka tangkap adalah bagaimana mereka dapat mencerna segala hal yang didapatnya dari luar inilah penomena kebahasaan dalam membentuk karakter.

 

B.    SARAN

Sebagai warga negara Indonesia yang kaya akan budaya, hendaknya tidak melupakan akan pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Meskipun adanya globalisasi yang menjadikan masyarakat terpengaruh adanya bahasa asing, banggalah terhadap bahasa nasional dan ingatlah bagaimana perjuangannya sehingga di tetapkan pada tanggal 28 Oktober 1928.

Bahasa gaul memang merupakan bahasa yang sangat bersahabat dikalangannya, akan tetapi jika belajar menggunakan bahasa gaul diharapkan tidak melupakan untuk belajar bahasa Indonesia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arikunto, suharsimi. 2006. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta:Rineka cipta.

 

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

 

Djajasudharma, Fatimah. 2010. Metode linguistik ancangan metode penelitian dan kajian. Bandung: PT refika aditama

 

Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, Walter R... (2003). Educational research an introduction seventh edition. New york: pearson education inc.

 

Moleong, lexy. J. 2011. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

 

Nababan dan Subyakto, Utari Sri. 1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Suryaningsih, Endang.2009. Sikap Murid. Perpustakaan digital 127114-RB13E284s .Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia

 

Selinger dan Shohamy. 1989. Research Method.

 

Sudaryanto.1993. metode dan aneka teknik analisis bahasa pengantar penelitian wahana kebudayaan secara linguitis. Yogyakarta: Duta wacana university press.

 

Warsiman. 2007. Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar: untuk Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Dewa Ruchi.

 

Windearly. 2007. Mengapa Remaja Suka Menggunakan bahasa Gaul http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/1641582-mengapa-remaja-suka-menggunakan-bahasa/ diakses pada tanggal 12 Februari 2016

 

Imanuel, Afris. 2009. Aku Cinta Bahasa Indonesia. http://umum.kompasiana.com/2009/08/04/ diakses pada tanggal 12 Februari 2016

 

http://episentrum.com/search/ciribahasagaul diakses pada tanggal 12 Februari 2016

 

http://bataviase.co.id/dataibellberita-10524806.html diakses pada tanggal 12 Februari 2016

 

http://www.lautanindonesia.com//forum/index.php?topik=54470 diakses pada tanggal 12 Februari 2016

 

http://koranbaru.com/40-istilah-bahasagaul diakses pada tanggal 12 Februari 2016

 

http://muhamadgunawanccti.wordpress.com/2012/04/11/fenomena-bahasa-gaul-dikalangan-remaja/ diakses pada tangga 12 Februari 2016

 

http://www.sejutablog.com/pembinaan-dan-pengembangan-bahasa-indonesia/#ixzz1tuZeKH6t diakses pada tanggal 12 Februari 2016

 

http://ibahasa.blogspot.com/2008/03/pembinaan-bahasa-indonesia.html diakses pada tanggal 12 Februari 2016

Comments

Popular posts from this blog

KRITIK PENGHAKIMAN DAN IMPRESIONISTIK DALAM NOVER MEMORI IN SORONG

  KRITIK PENGHAKIMAN DAN IMPRESIONISTIK DALAM NOVER MEMORI IN SORONG   A.     SINOPSIS NOVEL   Menceritakan tentang seorang gadis bernama Ajeng yang memiliki 3 orang kakak yang saling berbeda sifat satu sama lain, yang pergi ke Sorong untuk urusan pekerjaanya menjadi reporter dan penyiar salah satu televise swasta yang bernama SENADA, sekaligus untuk mencari tahu tentang sosok perempuan yang sempat mendampingi ayahnya saat bertugas di Sorong selama dua tahun pada dua puluh Sembilan tahun yang lalu.             Awal keberangkatannya ke Sorong, ia berkeinginan untuk segera bertemu dan bertanya kepada anneke, sosok orang yang sempat mendampingi ayahnya yang merupakan seorang tentara yang sangat mencintai keluarganya. Selama di sorong ajeng tinggal di rumah sepupunya yang menjadi direktur di salah satu bank milik pemerintah di kota Sorong. Dua hari semenjak ajeng datang ke Sorong, ia di sambut dengan banyak sekali keributan yang terjadi, sehingga ini menjadi sebuah keberuntunga

KRITIK PENGHAKIMAN Karya Sastra JUDICIAL CRITICISM

Kritik penghakiman (judicial criticism) ialah kritik sastra yang berusaha menganalisis karya sastra dan menerangkan efek-efek sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, dan gayanya, serta mendasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluar-biasaan karya sastra. Contoh kritik penghakiman dapat dilihat pada uraian berikut ini. Membaca baris permulaan roman singkat Hamidah barangkali orang akan menyangka, inilah satu di antara pengarang sebelum perang yang menulis dengan teknik lain. Tetapi ternyata setelah kita lanjutkan membaca beberapa kalimat, teknik penulisannya seperti pada umumnya karya-karya masa itu: merupakan garis lurus dari awal sampai akhir. Hanya pengarang menggunakan kalimat-kalimat yang boleh menjadi kalimat akhir cerita sebagai pembuka cerita. Plot lurus seperti ini, tanpak kecakapan pengarang akan mengundang kelemahan-kelemahan, di antaranya faktor rasa ingin tahu pembaca kurang terpusa

ANALISIS PUISI “GAJAH DAN SEMUT” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

  BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Membicarakan puisi berarti membicarakan kebahasaan puisi. Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dari bermacam-macam aspeknya. Puisi adalah bagian dari karya sastra. Membicarakan puisi berarti membicarakan bahasa dalam puisi. Puisi merupakan karya estetis yang memanfaatkan sarana bahasa yang khas Suminto (dalam Diah Eka, 2016: 01). Setiap pengarang menulis puisi berdasarkan ekspresi perasaannya sehingga bahasa yang digunakan bisa dimaknai berbeda. Setiap puisi yang dibuat oleh penyairtentu memiliki makna dan arti di dalamnya yang tidak diketahui secara implisit. Puisi adalah bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dengan menggunakan bahasa pilihan. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.  Apresiasi puisi tidak