Skip to main content

PEMBENTUKAN MENTAL DAN KEPRIBADIAN BANGSA DALAM KAITAN DENGAN TEORI KEBAHASAAN


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Era globalisasi ditandai, antara lain dengan meningkatnya kontak budaya dan komunikasi antarbangsa, terutama dengan menggunakan bahasa internasional yaitu salah satunya adalah bahasa Inggris. Sehubungan dengan hal tersebut, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia perlu dikukuhkan karena bahasa merupakan jati diri bangsa. Hal tersebut sesuai dalam buku Kumpulan Putusan Konggres Bahasa Indonesia I-IX Tahun 1938- 2008 (2011: 85), bahwa bahasa Indonesia ditempatkan sebagai alat pemersatu, pembentuk jati diri dan kemandirian bangsa, serta wahana komunikasi ke arah kehidupan yang lebih modern dan beradab.

Hal tersebut menunjukkan bahwa era globalisasi menuntut pentingnya peran bahasa asing dan perlunya pemantapan peran bahasa Indonesia dengan menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia. Dengan demikian bahasa Indonesia diharapkan akan tetap bertahan dan bahkan akan semakin berkembang , sehingga jati diri bangsa melalui bahasa akan semakin kuat.

Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Bangsa Indonesia dituntut untuk dapat mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Globalisasi dengan segala pengaruhnya akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama bahasa. Dengan bahasa yang semakin global, terutama bahasa Inggris yan dipakai oleh hampir semua bangsa di dunia. Hal tersebut memungkinkan adanya penggerusan terhadap bahasa-bahasa yang lemah dan tidak memiliki jati diri yang kuat.

Bangsa Indonesia yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antar daerah di Indonesia mempunyai peran yang sangat penting, sehingga memiliki kedudukan istimewa. Selain itu bahasa adalah cermin dari karakter bangsa seperti kata pepatah “Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Hasan Alwi (2001:39)sependapat dengan pernyataan tersebut, bahwa “Bahasa Menunjukkan Bangsa”, merupakan untaian kata dari kaum cerdikpandai dan para bijak-bestari zaman dahulu kala yang selalu kita kaji ulang pada saat-saat yang dianggap tepat untuk mengungkapkannya. Butir mutiara itu akan tetap penting dan selalu relevan, terutama sehubungan dengan ciri keindonesiaan yang multietnis, multikultural, dan (yang berakibat pada) multilingual.

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kata mutiara tersebut tidak lekang oleh waktu dan memperkuat anggapan bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu kala memang merupakan bangsa yang beradab dengan ditandai keramahan, budi pekerti yang halus, dan bahasa yang digunakan bangsa Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Hal tersebut memperjelas bahwa cara masyarakat menggunakan bahasa menunjukkan cara berfikir masyarakat tersebut. Karena bahasa adalah hasil dari sebuah pemikiran sehingga bahasa mencerminkan kepribadian seseorang.

Oleh karena itu, ungkapan bahwa bahasa menunjukkan bangsa tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa bahasa satu lebih baik dari bahasa yang lain. Maksud dari ungkapan itu adalah bahwa ketika seseorang sedang berkomunukasi dengan bahasanya mampu menggali potensi bahasanya dan mampu menggunakannya secara baik, benar, dan santun merpakan cermin dari
sifat dan kepribadian pemakainya.

Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa
secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat
tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul
pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak baik dan tidak
santun.

Begitu juga, ada orang yang berpura-pura halus dihadapan
orang lain tetapi sesungguhnya memiliki kepribadian buruk, pada suatu
saat berusaha tampil dengan bahasa yang halus agar nampak santun.
Namun, pada suatu saat orang itu tega “menusuk orang lain dari
belakang” dengan kata-kata yang isinya menjelek-jelekkan watak, sifat,
dan kepribadian orang lain. Karena sifat dan perilakunya hanya berpura-pura, pada suatu saat kepribadian yang sesungguhnya seseorang itu akan muncul melalui bahasanya.

Potret sederhana untuk memperlihatkan watak, sifat, dan
kepribadian seseorang dapat dilihat pada bahasa anak kecil. Orang tua
yang mendidik anak di rumah dengan bahasa yang santun, halus, dan
baik, ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah,
mereka juga akan berbahasa santun, halus, dan baik.

B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kaitan antara teori kebahasaan bahasa Indonesia dengan pembentukan kepribadian dan mental?

 

C.  Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai kaitan antara teori kebahasaan bahasa Indonesia dengan pembentukan kepribadian dan mental.

 

D.  Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat memberikan pengetahuan mengenai kaitan antara teori kebahasaan bahasa Indonesia dengan pembentukan kepribadian dan mental kepada pembaca.


BAB II

 

 
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mental

Pengertian “mental” secara defenitif belum ada kepastian defenisi yang jelas dari para ahli kejiwaan. Secara etimologi kata “mental” berasal dari bahasa Yunani, yang mempunyai pengertian sama dengan pengertian psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.

Kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens atau metis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan demikian mental menurut Kartini Kartono dan Jenny Andari (1989:3) ialah hal-hal yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerik individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi (suasana) mental.

Sedangkan secara terminologi para ahli kejiwaan maupun ahli psikologi ada perbedaan dalam mendefinisikan “mental”. Salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Al-Quusy yang dikutip oleh Hasan Langgulung (1992:30), mendefinisikan mental adalah paduan secara menyeluruh antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kemampuan menghadapi krisis-krisis psikologis yang menimpa manusia yang dapat berpengaruh terhadap emosi dan dari emosi ini akan mempengaruhi pada kondisi mental.

Pengertian lain “mental” didefinisikan oleh Chaplin (1995:407) yaitu yang berhubungan dengan pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran, akal dan ingatan.

Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa mental itu terkait dengan, akal (pikiran/rasio), jiwa, hati (qalbu), dan etika (moral) serta tingkah laku. Satu kesatuan inilah yang membentuk mentalitas atau kepribadian (citra diri). Citra diri baik dan jelek tergantung pada mentalitas yang dibuatnya.

Kondisi individu kelihatan gembira, sedih, bahkan sampai hilangnya gairah untuk hidup ini semua tergantung pada kapasitas mental dan kejiwaannya. Mereka yang tidak memiliki sistem pertahanan mental yang kuat dalam menghadapi segala problematika kehidupan atau tidak memiliki sistem pertahanan diri yang kuat untuk mengendalikan jiwanya, maka individu akan mengalami berbagai gangguan-gangguan kejiwaan, yang berpengaruh pada kondisi kepribadian yang bisa mendorong pada perilaku-perilaku pathologies (Kartini Kartono dan Jenny Andari 1989:6-7).

Kondisi mental tersebut bisa digolongkan dalam dua bentuk yaitu kondisi mental yang sehat dan kondisi mental yang tidak sehat. Kondisi mental yang sehat akan melahirkan pribadi-pribadi yang normal. Pribadi yang normal ialah bentuk tingkah laku individu yang tidak menyimpang dari tingkah laku pada umumnya dimana seorang individu itu tinggal, dan pribadi yang normal akan menunjukkan tingkah laku yang serasi dan tepat (adekuat) dan bisa diterima oleh masyarakat secara umum, dimana sikap hidupnya sesuai dengan norma dan pola hidup lingkungannya. Secara sederhana individu tersebut mampu beradaptasi secara wajar.

Jadi pribadi yang normal dan metal yang sehat ini bisa dirasakan pada kondisi diri kita atau kondisi perasaan kita yang cenderung stabil, tidak banyak memendam konflik internal, suasana hati yang tenang, dan kondisi jasmani yang selalu merasa selalu sehat. 

Sementara itu yang perlu mendapatkan perhatian dan perlu diwaspadai oleh setiap individu ialah kondisi mental yang tidak sehat, karena kondisi mental yang tidak sehat itu akan membentuk suatu kepribadian yang tidak sehat pula (abnormal).   

Pribadi yang tidak sehat (abnormal) ialah adanya tingkah laku seseorang atau individu yang sangat mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum yang ada di lingkungannya, atau disebut juga dengan perilaku-perilaku yang menyimpang (abnormal). Secara umum bentuk mental yang tidak sehat yaitu secara relatif bisa dilihat  pada individu jauh dari kemampuan beradaptasi atau selalu mengalami  kesulitan dalam beradaptasi, dan memiliki ciri bersikap  inferior dan  superior.

Hal yang menjadi barometer setiap kelainan tingkah laku individu ialah kondisi mentalnya. Mental yang sehat itulah yang menentukan tanggapan atas dirinya terhadap setiap persoalan, dan kemampuan untuk beradaptasi, dan mental yang sehat pulalah yang menentukan apakah seseorang atau individu memiliki gairah hidup atau justru mereka pasif dan tidak bersemangat bahkan memiliki ketakutan untuk hidup.

Pada dasarnya untuk mengetahui apakah seseorang atau individu sehat mentalnya atau tidak (terganggu mentalnya) tidaklah mudah diukur atau diperiksa dengan alat-alat seperti halnya pada penyakit jasmani, akan tetapi yang menjadi ukuran adalah merasakan diri kita sejauh mana kondisi perasaan kita apakah sudah melampaui batas kewajaran atau tidak seperti, rasa bersedih, kecewa, pesimis, rendah diri dan lain sebagai. Dan seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya, bisa dilihat pada tindakannya, tingkah lakunya atau ekspresi perasaannya, karena seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya ialah apabila terjadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya (Zakiyah Daradjat 1990:16).

Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berada dalam diri seseorang atau individu yang terkait dengan psikis atau kejiwaan yang dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk kepribadian, begitu juga sebaliknya mental yang sehat akan melahirkan tingkah laku maupun kepribadian yang sehat pula. 

Sigmund Freud memberikan definisi bahwa kepribadian yang sehat adalah adanya keseimbangan antara dorongan-dorongan dan motif-motif tiap bagian jiwa dalam pemuasannya. Begitu juga Arthur Gorden melihat bahwa kemampuan mengharmoniskan dorongan-dorongan psikis dengan realitas dengan sendirinya akan terbentuk kepribadian yang sehat dan akan melahirkan tingkah laku yang sehat pula (normal) (F. Patty, 1982:189-190).

Menurut Hurlock, ada sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak.

1.       Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus dilakukan.

2.       Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang diharapkan dan melanggar aturan.

3.       Peran interaksi sosial dalam memberi kesempatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standar perilaku yang disetujui dalam masyarakat, keluarga,sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain

B.    Pengertian Kepribadian

Istilah kepribadian atau personality berasal dari kata Latin ”persona” yang berarti topeng. Pada bangsa Yunani kuno, para aktor memakai topeng untuk menyembunyikan identitas mereka dan memungkinkan mereka memerankan tokoh dalam drama. Demikian juga pada bangsa Roma, ”persona” berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa penggunaan istilah kepribadian. Diantaranya, kepribadian sebagai sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang; kepribadian merupakan pengaruh seseorang terhadap orang lain; ada kepribadian yang menarik dan yang membosankan; kepribadian semata-mata faktor jasmaniah atau semata-mata hasil dari kebudayaan dan kepribadian merupakan sejumlah sifat seseorang.

Memang cukup banyak pengertian dan pengunaan istilah kepribadian. Saat ini definisi pengertian kepribadian kebanyakan mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Allport (Sukmadinata, 2003). Menurut Allport ”personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustment with the enviroment.” Kepribadian merupakan suatu organisasi yang merujuk kepada suatu kondisi atau keadaan yang kompleks dan mengandung banyak aspek.

Kepribadian bersifat dinamis, tidak statis, melainkan berkembang secara terbuka sehingga manusia senantiasa berada dalam kondisi perubahan dan perkembangan. Kepribadian meliputi aspek fisik dan psikis yang saling mempengaruhi dan membentuk satu kesatuan. Kepribadian selalu dalam penyesuaian diri yang unik dengan lingkungannya dan berkembang bersama-sama dengan lingkungannya, serta menentukan jenis penyesuaian yang akan dilakukan anak, karena tiap anak mempunyai pengalaman belajar yang berbeda satu dengan lainnya.

Dalam perkembangan kepribadian, konsep diri dan sifat-sifat seseorang merupakan hal atau komponen penting. Konsep diri merupakan konsep, persepsi, maupun gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri, atau sebagai bayangan dari cermin diri. Konsep diri seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh peran dan hubungan-nya dengan orang lain, serta reaksi orang lain terhadap dirinya. Konsep diri ideal merupakan gambaran seseorang mengenai penampilan dan kepribadian yang didambakannya.

Setiap konsep diri mempunyai aspek fisik dan psikis. Aspek fisik konsep diri merupakan konsep yang dimiliki seseorang berkenaan dengan penampilannya, dan kesesuaiannya dengan peran seks yang disandangnya. Aspek psikis berkenaan dengan kemampuan dan ketidakmampuan dirinya, harga diri, dan hubungannya dengan orang lain. Sifat merupakan kualitas perilaku atau pola penyesuaian yang spesifik. Misalnya, reaksi seseorang terhadap masalah dan frustrasi, perilaku agresif dan defensif, perilaku terbuka dan tertutup ketika berinteraksi dengan orang lain. Ciri sifat tersebut ada yang terpisah dan ada yang terintegrasi dengan konsep diri. Sifat juga mempunyai dua ciri menonjol yaitu: (1) individualitas yang diperlihatkan dalam kuantitas ciri tertentu dan bukan kekhasan ciri bagi orang lain; serta (2) konsistensi yang berarti seseorang bersikap dengan cara yang hampir sama dalam situasi dan kondisi yang serupa. Konsep diri merupakan inti kepribadian yang mempengaruhi berbagai sifat yang menjadi ciri khas kepribadian seseorang

 

C.  Kedudukan dan Fungsi Bahasa dalam Dunia Pendidikan

Pada dasarnya bahasa adalah seperangkat kaidah untuk berkomunikasi antar umat manusia, hakekat bahasa itu antara lain bahwa bahasa itu sistematik, manasuka, ucapan, simbol, mengacu pada dirinya, komunikasi, produktif, unik, universal, benda, objek yang dapat diteliti secara ilmiah, daftar kata-kata dan tidak tertukarkan (Siswanto PHM, dkk. 2012:11-23). Secara linguistik bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disepakati oleh anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri. Dengan demikian, bahasa adalah suatu tanda atau lambang yang telah bersistem yang harus mendapatkan suatu kesepakatan seluruh warga masyarakat yang terlibat dalam suatu lingkungan masyarakat yang bertujuan sebagai alat bekerjasama, berkomunikasi, dan sarana identitas suatu masyarakat. Sistem dalam bahasa adalah suatu aturan yang mengatur unsur-unsur bahasa sehingga tanda atau lambang dapat mempunyai arti.

            Menurut pendapat Noam Chomsky (dalam Hendriyanto, 2013:18) menerangkan bahwa suatu bahasa yang hidup ditandai oleh kreatifitas yang dituntut oleh aturan-aturan. Aturan-aturan tata bahasa bertalian dengan tingkah laku kejiwaan dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat belajar bahasa. bahasa yang hidup adalah bahasa yang dapat dipakai dalam berpikir. Berdasarkan pendapat tersebut, batasan dari bahasa adalah bahasa dapat digunakan sebagai sarana untuk berpikir. Hal ini berkaitan dengan bahasa tulis, dengan mempelajari bahasa tulis manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia.

            Benyamin Lee dan Sapir (dalam Hendriyanto, 2013:18) dalam hipotesisnya mengemukakan bahwa struktur bahasa adalah suatu budaya yang menentukan apa yang orang lakukan dan pikirkan. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa dan bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu.

            Dari pendapat para ahli, ada persamaan yang jelas dalam hakekat bahasa. Persamaan itu adalah bahasa ditempatkan sebagai alat komunikasi antarmanusia untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan menggunakan simbol-simbol komunikasi, baik yang berupa suara, gestur, maupun tanda-tanda bahasa berupa tulisan. Selain itu, bahasa dilihat dari ilmu komunikasi dapat dibedakan dari dua sisi, yaitu sisi formal dan fungsional. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan yang dibuat menurut tata bahasa. secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Setelah mengetahui hakekat bahasa, maka bahasa menpunyai peranan penting dalam berbagai aspek.

Bahasa selain menunjukkan budaya tetapi juga kecerdasan personal seseorang (intelegensi linguistic). Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antarsesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah sosial komunitas-komunitas masyarakat atau bangsa. Pemahaman bahasa sebagai fungsi sosial menjadi hal pokok manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya. Bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai: alat untuk menyatakan ekspresi diri, alat komunikasi, alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan alat untuk mengadakan kontrol sosial. Dalam interaksi dan hubungan sosial pada kehidupan manusia tidak terlepas dari bahasa itu, tanpa bahasa pasti akan terasa sulit untuk saling mengenal.

Empat fungsi yang diungkapkan diatas, salah satunya menunjukkan cara yang bisa dikatagorikan sebagai lingkungan pendidikan yaiu masyarakat. Didalam lingkungan daerah yang dekat dengan kota maupun daerah yang jauh dari pusat kota, pendidikan diluar sekolah tentu saja yang berada dalam masyarakat sangat dibutuhkan, karena bagi daerah seperti ini lingkungan pendidikan yang menyediakan ilmu pengetahuan, keterampilan, atau performan yang berfungsi dapat menggantikan pendidikan dasar utama.

Pendidikan itu merupakan suatu investasi strategis untuk kemajuan bangsa dan negara. Negara itu dikatakan maju tidaknya tergantung dengan pendidikannya. Dalam melaksanakan pendidikan maka toidak terlepas dari peran bahasa. Bahasa ini sangat menunjang untuk melancarkan proses pendidikan. Dengan bahasa yang baik dan benar akan mencerminkan output dari dunia pendidikan. Maka dari itu pendidikan sangat membutuhkan bahasa, tanpa bahasa tidak akan bisa dijalankan.

 

D.      Penanaman Pendidikan Karakter melalui Bahasa

Menurut pandangan Islam karakter itu sama dengan akhlak. Akhlak dalam pandangan Islam adalah kepribadian. Pendidikan Karakter ini sebenarnya menekankan dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan kepribadian. Pendidkan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal atau spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte (Majid, 2011:8).

            Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Menurut Ryan dan Bohlin (dalam Majid, 2011:11) mendefinisikan karakter menjadi tiga unsur pokok yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), melakukan kebaikan (doing the good). Dari tiga unsur tersebut bahwa karakter itu harus mengetahui kebaikan, mencintai dan melakukan kebaikan untuk kepentingan agama dan tidak keluar dari norma-norma hukum agama maupun negara.

            Menurut Hornby dan Parnwell (dalam Majid, 2011:11) menjelaskan bahwa karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Jadi karakter itu adalah sifat pada diri sesorang yang melekat pada diri seseorang yang didalamnya memiliki sesuatu yang positif untuk menjalankan kehidupannya dengan penuh keyakinan.

            Dari pendapat para ahli diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengedepankan pendidikan watak, sifat, atau hal-hal yang memang sangat mendasar yang ada pada diri seseorang dan hal-hal yang sangat abstrakyang ada pada diri seseorang yang sering disebut orang sebagai tabiat atau perangai. Apapun sebutanya karakter ini adalah sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya.

            Sikap dan tingkah laku seorang individu dapat dinilai oleh masyarakat sekitarnya sebagai sikap dan tingkah laku yang diinginkan atau ditolak, dipuji, baik maupun jahat. Dengan mengetahui adanya karakter (watak, sifat, tabiat atau perangai) seseorang dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap berbagai fenomena yang muncul dalam diri ataupun hubungannya dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta bagaimana mengendalikannya. Karakter dapat ditemukan dalam sikap-sikap seseorang, terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap tugas-tugas yang dipercayakan padanya dan dalam situasi-situasi yang lain.

Seiring perkembangan zaman yang terus berubah, memaksa pendidikan yang dinilai mempunyai peran besar harus pandai berinovasi. Hal-hal yang memaksa adanya inovasi pendidikan antara lain: besarnya eksploasi pendidikan, melonjaknya anspirasi dikalangan masyarakat luas, kelemahan sistem. Adanya inovasi dalam perbaikan pendidikan di negara kita antara lain dengan adanya pendidikan karakter, Koesuma dalam artikelnya menyatakan tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dan kualitas seseorang secara pribadi mampu diukur.

Pendidikan berbasis karakter merupakan salah satu upaya dalam pembaharuan di dunia pendidikan, besar pengaruh penanaman karakter pada anak dianggap sebagai hal pokok. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pendidkan karakter ini harus dibarengi dengan kesungguhan dari berbagai pihak untuk mewujudkannya. Dunia pendidikan, media massa, para pemimpin, masyarakat, dan keluarga harus menyambut dan melakukannya karena tanggung jawab ini milik perorangan. Kesadaran akan pendidikan karakter untuk generasi bangsa akan melahirkan generasi yang berkualitas, berkarakter dan bermartabat. Maka dari itu kesadaran akan jati diri manusia Indonesia yang berkarakter Indonesia ini harus benar-benar dioptimalkan sehingga angka kolusi, korupsi, serta nepotisme di Indonesia dapat ditekan.

 

E.      Peran Bahasa Indonesia dalam Pendidikan Karakter Bangsa Indonesia

Bahasa mempunyai kekuatan yang dahsyat dalam pembentukan kepribadian karena didalam bahasa terdapat energi positif yang mampu membentuk kristal indah dalam tubuh manusia (Pamungkas, 2012:19). Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan mengembangkan dirinya dengan bahasa. Bahasa merupakan pola struktur kehidupan masyarakat yang beradab. Menurut Nababan (dalam Pamungkas, 2012:19) manusia menggunakan bahasa taatkala manusia dalam kondisi bangun (sadar) dan dalam kondisi tidur pun manusia menggunakan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu direpublik Indonesia tentu mempunyai fungsi yang sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan.

            Bahasa Indonesia sangat dibutuhkan perananya oleh masyarakat Indonesia, yang mempunyai fungsi yang sangat jelas dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia juga mempunyai kekuatan dalam pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter Indonesia.

Pendidikan karakter marak dibicarakan dimana-mana. Dalam berbagai seminar dari tingkat lokal sampai nasional, hal ini dilakukan karena pada zaman ini sebagian orang Indonesia telah kehilangan karakter Indonesia. Untuk menumbuhkan kembali karakter Indonesia, maka perlu adanya pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini. Yang pada dasarnya anak yang akan dididik agar menjadi anak yang berkarakter indonesia.

Ratna (dalam Pamungkas, 2012:22) menyampaikan bahwa pada usia dibawah tujuh tahun merupakan saat yang tepat bagi anak untuk diajarkan pendidikan karakter. Menurut Ratna, usia tersebut sangat tepat untuk pembentukan watak, akhlak, atau karakter bangsa. Dan di dalam bangsa Indonesia bisa dibentuk melalui bahasa Indonesia.

Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang kaya akan kekayaan alam, negara yang relatif aman, tentram, masyarakatnya masih mengedepankan gotong-royong, hidup dalam kebersamaan. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang memegang peran penting dalam Republik Indonesia. Kesadaran akan pentingnya bahasa Indonesia harus dipikirkan serta diterapkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa,  dan negara.

Untuk mewujudkan karakter bangsa kembali, maka para generasi-generasi penerus bangsa perlu diberikan pembelajaran tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik secara lisan maupun tertulis, susah dibayangkan juka generasi penerusnya bahasanya rancu, dan lama kelamaan karakter bangsa Indonesia terus terkikis. Para pendidik harus mengajarkan bahasa Indonesia bukan hanya teori saja tetapi juga harus bisa memratikkannya, tetapi harus memberi contoh berbahasa yang baik, dalam situasi formal dan nonformal. Bisa dikatakan berbahasa yang baik itu yaitu mampu menggunakan bahasa sesuai situasi dan kondisi. Dengan mampu menggunakan bahasa yang baik, tentu juga berpengaruh dalam tingkah laku, watak, kepribadian atau karakter yang baik. Bangsa indonesia akan bermartabat apabila masyarakatnya mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik, bangga terhadap bahasanya, dan selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan santun, berarti sudah mampu menunjukkan karakter bangsa Indonesia.

Bangsa memiliki karakternya sendiri-sendiri. Karakter itulah yang menjadi trayek kemajuannya sendiri-sendiri. Jalan kemajuan suatu bangsa itu adalah jalan karakternya. Karakter itu adalah suatu cetakan, dan itu menjadi dasar kepribadiannya. Karakter inilah yang membedakan, satu Negara dengan Negara lain. Jika suatu bangsa sudah kehilangan karakter, maka itu adalah kehilangan segala-galanya.

            Fungsi dari karakter bangsa untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya, karakter bangsa yang bermartabat. Sedangkan tujuan karakter bangsa adalah menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.

            Ciri-ciri Karakter dan moral Bangsa indonesia sejak tahun 1965 pelan-pelan berubah. Kapitalisme-liberalisme pelan-pelan mengikis karakter dan perilaku bangsa Indonesia. Jiwa dengan semangat Pancasila pelan-pelan dibuat luntur, kemudian semangat dagang, yang efisien, kreatif, dan kompetitif dipompakan di jiwa raga bangsa Indonesia.

            Jiwa dan semangat merebut kemerdekaan yang dulu dimiliki bangsa ini punah secara pelan tapi pasti, berubah kearah opportunik, berebut (hasil) kemerdekaan. Melewati tahun 1970 karakter dan moral yang populis dan sosialis berubah kearah karakter materialistis-individualistis. Perubahan sistem politik-ekonomi yang kapitalis-liberalis terus merambah ke berbagai jiwa birokrasi pemerintahan dan dunia usaha. Singkat kata, investasi melahirkan regulasi. Regulasi melahirkan privatisasi. Maka lahir privatisasi, efisiensi, peningakatan produksi, bermuara ke pertumbuhan ekonomi. Tetapi bersamaan dengan itu lahir pula penyakit birokrasi dan korupsi. Maka tahun-tahun selanjutnya korupsi dan demoralisasi merajalela dan membudaya. Akibatnya bisa kita lihat sekarang ini.

Untuk mengubah karakter Bangsa Indonesia yang telah berubah menjadi karakter yang diangkap buruk,  maka bahasa-lah yang merupakan salah satu caranya, karena bahasa merupakan cerminan dari watak, sifat, perangai, dan budi pekerti penggunanya.

            Bahasa Indonesia memiliki kedudukan dan fungsi yang penting. Bahasa Indonesia berdiri sebagai lambang kebanggan dan sebagai lambang identitas dari bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia menunjukan, identitas, latar belakang dan budaya dari bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan pembentuk karakter nasional. Namun dalam pembentukan ini terdapat tantangan-tantangan.

Tantangan pembentukan karakter nasional melalui bahasa di Indonesia terdiri dari tantangan internal dan eksternal. Secara internal bahasa persatuan ini harus menghadapi realita bahwa Indonesia terdiri dari berbagai bahasa dan budaya. Sehingga dalam proses sosialisasinya bahasa Indonesia harus menuntaskan kegamangan antara menampilkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dapat digunakan seluruh masyarakat tanpa melenyapkan bahasa daerah. Hal ini diperumit dengan suatu kondisi dimana beberapa bahasa daerah terancam punah diakibatkan sosialisasi bahasa Indonesia yang tidak mengindahkan perawatan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus dilestarikan. Sehingga pada daerah yang masih tertinggal, bahasa ibu ditinggalkan karena tidak lebih prestise dibandingkan bahasa Indonesia. Di satu sisi bahasa Indonesia juga harus menghadapi realita bahwa penuturnya sendiri sangat sedikit yang mau mempelajari kaidah bahasa yang baik dan benar.

Disisi lain, kesadaran dari pemerintah, media, dan masyarakat terhadap konsep bahasa persatuan masih rendah. Usaha para budayawan dan ahli bahasa Indonesia belum didukung penuh oleh kebijakan strategis dan merakyat dari pemerintah. Ditambah lagi peran media yang semakin luas tidak diimbangi oleh usaha sosialisasi bahasa Indonesia yang baik dan benar membuat masyarakat kini lebih merespon stimulasi dari asing serta semakin jauh dari kaidah berbahasa yang benar. Bukannya masyarakat harus tertutup dari pengaruh asing, namun kemampuan untuk menyaring informasi, gaya bahasa, dan perilaku inilah yang menjadi pokok masalah terjadinya kegamangan identitas/karakter yang dimiliki Indonesia.

 Pengaruh secara global bahasa Melayu tersebut tentunya akan juga berpengaruh di Indonesia meskipun akan membutuhkan proses yang sangat lama. Pengaruh tersebut berkaitan juga tingkat kesadaran pemerintah, media, dan masyarakat Indonesia tentang pentingnya bahasa Indonesia sebagai pemersatu dan sebagai pembentuk karakter Bangsa Indonesia. Kesadaran ini tidak hanya pada bagian luar pemahaman saja, namun selayaknya menjadi penghayatan dan pengidentifikasian seluruh masyarakat sebagai satu bangsa.

Marilah sadar akan pembentukan karakter yang semangat. Semangat Nasionalisme, dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Satu warga Indonesia harus bersama-sama membaharui keburukan karakter bangsa. Kebiasaan-kebiasaan buruk perlu dirubah menjadi kebiasaan yang baik, demi mempersatukan bangsa.

Dengan membina dan menanamkan bahasa yang baik dan benar, maka akan terwujud  karakter bangsa Indonesia yang berkualitas, mampu menyaring budaya dari luar. Sehingga masyarakat bangsa Indonesia mempunyai karakter Indonesia.

F.       Kesantunan Berbahasa Indonesia sebagai Pembentuk Kepribadian Bangsa

Secara teoretis, semua orang harus berbahasa secara santun.
Setiap orang wajib menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan
komunikasi dapat tercapai. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi
dan saat menggunakan bahasa juga harus memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa baik kaidah linguistik maupun kaidah kesantunan agar tujuan berkomunikasi dapat tercapai. Kaidah berbahasa secara linguistik yang dimaksud antara lain digunakannya kaidah bunyi, bentuk kata, struktur kalimat, tata makna secara benar agar komunikasi berjalan lancar. Setidaknya, jika komunikasi secara tertib menggunakan kaidah linguistik, mitra tutur akan mudah memahami informasi yang disampaikan oleh penutur.

Begitu juga dengan kaidah kesantunan. Meskipun secara baku bahasa Indonesia belum memiliki kaidah kesantunan secara pasti, setidaknya rambu-rambu untuk berkomunikasi secara santun sudah dapat diidentifikasi. Ketika berkomunikasi, seorang penutur harus memperhatkan prinsip kualitas. Artinya, jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain, informasi yang disampaikan harus didukung dengan data. Prinsip kuantitas, artinya kerika berkomunikasi dengan orang lain, yang dikomunikasikan harus sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip relevansi, artinya ketika berkomunikasi yang dibicarakan harus relevan atau berkaitan dengan yang sedang dibicarakan dengan mitra tutur. Dan, yang terakhir adalah prinsip
cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di samping harus
ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara
menyampaikan. Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya pokok masalah yang dibicarakan sangat bagus dan menarik, namun jika cara menyampaikan justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata yang digunakan terasa kasar, atau cenderung melecehkan, tujuan komunikasi dapat tidak tercapai.

Leech (1993) dalam bukunya Principles of Pragmatics mengajukan 7 (tujuh) maksim kesantunan, yaitu (a) maksim kebijaksanaan “tact maxim” (berilah keuntungan bagi mitra tutur), (b) maksim kedermawanan “generosity maxim”
(maksimalkan kerugian pada diri sendiri), (c) maksim pujian “praise maxim” (maksimalkan pujian kepada mitra tutur), (d) maksim kerendahan hati (minimalkan pujian kepada diri sendiri), (e) maksim kesetujuan (maksimalkan kesetujuan dengan mitra tutur), (f) maksim simpati “sympathy maxim” (maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur), dan (g) maksim pertimbangan “consideration maxim (minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur’ dan maksimalkan rasa senang pada mitra tutur).

Leech memandang prinsip kesantunan sebagai “piranti” untuk
menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung
(indirect) dalam mengungkapkan maksudnya. Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar ujaran terdengar santun. Penutur biasanya menggunakan implikatur. Implikatur adalah apa yang tersirat dalam suatu ujaran. Jika kita bedakan “apa yang dikatakan” (what is said) dan “apa yang dikomunikasikan” (what is communicated), implikatur termasuk apa yang dikomunikasikan. Prinsip kesantunan Leech ini oleh beberapa ahli pragmatik
dipandang sebagai usaha “menyelamatkan muka Grice, karena prinsip
kesantunan Grice sering tidak dipatuhi daripada diikuti dalam praktik
penggunaan bahasa yang sebenarnya”. Suatu tuturan dikatakan santun bila dapat meminimalkan pengungkapan pendapat yang tidak santun (Leech, 1993: 81).

Selain itu, pemakaian bahasa agar santun dapat juga dinyatakan
menggunakan bentuk ironi (Arsim, 2005). Penerapan bentuk ironi, penutur bertutur dengan santun, tetapi yang dituturkan itu tidak benar, dan karena itu daya ilokusinya (maksudnya) adalah yang sebaliknya. Jadi dengan menerapkan prinsip ini, penutur mengungkapkan daya ilokusi yang tidak santun secana santun. Misalnya: “Terimakasih Anda sangat perhatian dengan keluarga saya, bahkan sempat antar-jemput istri saya!” padahal yang dimaksudkan penutur adalah bahwa
pendengar telah terlalu jauh mencampuri urusan keluarganya yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh pendengar.

Fakta pemakaian BI yang santun dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1.     Penutur berbicara wajar dengan akal sehat.

2.     Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan.

3.     Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur.

4.     Penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum.

5.     Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil menyindir.

6.     Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.

Selain itu, ada pula fakta bahwa pemakaian BI yang santun ditandai dengan pemakaian bahasa verbal, seperti (a) perkataan ”tolong” pada waktu menyuruh orang lain, (b) ucapan ”terima kasih” setelah orang lain melakukan tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur, (c) penyebutan kata ”bapak, Ibu” dari pada kata ”Anda”, (d) penyebutan kata ”beliau” dari pada kita ”dia” untuk orang yang lebih dhormati, (e) pergunakan kata ”minta maaf” untuk ucapan yang
dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur.

Di samping bentuk-bentuk verbal seperti di atas, perilaku santun juga dapat didukung dengan bahasa non-verbal, seperti (a) memperlihatkan wajah ceria, (b) selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara, (c) sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur, (d) posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang). Pemakaian bahasa non-verbal seperti itu akan dapat menimbulkan ”aura santun” bagi mitra tutur.

Meskipun sebenarnya banyak cara agar dalam berbahasa selalu santun, namun ada pula fakta bahwa komunikasi yang terjadi sering tidak santun. Meskipun belum cukup data untuk menarik kesimpulan bahwa indikator di bawah ini merupakan penyebab ketidaksantunan dalam berbahasa, setidaknya sudah dapat dirasakan bahwa tuturan itu tidak santun.

1.     Penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar.

2.     Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur.

3.     Penutur protektif terhadap pendapatnya.

4.     Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur.

5.     Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.

Atas dasar identifikasi di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian BI. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah memperkenalkan  kaidah kesantunan dan mengajarkan pemakaian kaidah tersebut dalam  berkomunikasi. Hal ini biasanya terjadi pada anak kecil yang memang belum cukup pengetahuannya mengenai kesantunan berbahasa Indonesia. Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia). Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah secara perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan lama dan menyesuaikan dengan kebiasaan baru. Ketiga, karena sifat bawaan “gawan bayi” yang memang suka berbicara tidak santun di hadapan publik. Jika faktor ini penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah mengeliminasi orang tersebut dari peran publik (tidak mendudukan dalam suatu posisi tokoh/pimpinan) agar tidak menyebarkan “virus” ketidaksantunan kepada masyarakat. Sifat-sifat bawaan seperti itu sangat sulit untuk disembuhkan. Jika mereka tetap dipertahankan sifat-sifat jelek yang mereka miliki akan menjadi “virus” menular pada generasi muda berikutnya.

Menurut Mutsyuhito Solin bahasa Indonesia berperan membetuk karakter dan kepribadian Indonesia melalui penggunaan bahasa Indonesia seperti berbicara, mendengar, membaca dan menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Semakin intensif penggunaan bahasa dan semakin teliti dan benar pilihan bahasa yang digunakan diyakini semakin tinggi karakter dan kepribadian orang yang menggunakannya. Kepribadian Indonesia banyak diilhami oleh Sastra Indonesia sebagai sumber inspirasi bagi terwujudnya bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia, oleh karena itu membaca sastra Indonesia hingga melek sastra diyakini dapat memperkuat identitas dan kepribadian Indonesia.

Menurut Rukni Setyawati sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan bangsa, lambang identitas nasional, alat pemersatu, dan alat komunikasi antardaerah dan antarkebudayaan. Sebagai lambang kebangsaan bahasa Indonesia mampu mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebanggaan kita. Bahasa juga sebagai sarana komunikasi antarmanusia yang kita sebut sebagai fungsi komunikatif.Seseorang dikatakan berjati diri Indonesia jika dapat berbahasa Indonesia dengan baik, mencerminkan kepribadian keindonesiaan, serta memiliki kecintaan dan kebanggaan sebagai orang Indonesia.


BAB III

 

 
PENUTUP

 

A.    Simpulan

Bahasa merupakan suatu hal yang dianggap perlu untuk dilaksanakan pada lingkungan pendidikan, karena pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa disadari atau dipelajari secara langsung yaitu tanpa melalui pendidikan secara formal untuk mempelajarinya, sebaliknya memperolehnya dari bahasa yang dituturkan oleh ahli masyarakat di sekitarnya. Bahasa diberikan pada lingkungan pendidikan, dan dimulai dari usia anak anak, sehingga penanaman nilai-nilai yang diberikan sejak anak-anak dinilai lebih maksimal dari pada diberikan pada usia dewasa. Bahasa Indonesia memegang peranan penting dalam pendidikan karakter bangsa untuk membentuk karakter bangsa Indonesia. Apabila masyarakat bangsa Indonesia mampu berbahasa Indonesia, maka terbentuklah karakter bangsa Indonesia.

 

B.    Saran

Untuk mengetahui lebih jauh dan lebih banyak bahkan lebih lengkap mengenai pembahasan dalam mata kuliah linguistik  pembaca dapat membaca dan mempelajari buku-buku dari berbagai pengarang, karena di dalam makalah ini penulis hanya membahas mengenai pembentukan moral dan kepribadian bangsa dalam kaitan dengan teori kebahasaan.

Di sini kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan makalah-makalah selanjutnya sangat diharapkan.

Comments

Popular posts from this blog

ANALISIS PUISI “GAJAH DAN SEMUT” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

  BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Membicarakan puisi berarti membicarakan kebahasaan puisi. Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dari bermacam-macam aspeknya. Puisi adalah bagian dari karya sastra. Membicarakan puisi berarti membicarakan bahasa dalam puisi. Puisi merupakan karya estetis yang memanfaatkan sarana bahasa yang khas Suminto (dalam Diah Eka, 2016: 01). Setiap pengarang menulis puisi berdasarkan ekspresi perasaannya sehingga bahasa yang digunakan bisa dimaknai berbeda. Setiap puisi yang dibuat oleh penyairtentu memiliki makna dan arti di dalamnya yang tidak diketahui secara implisit. Puisi adalah bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dengan menggunakan bahasa pilihan. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.  Apresiasi puisi tidak

KRITIK PENGHAKIMAN DAN IMPRESIONISTIK DALAM NOVER MEMORI IN SORONG

  KRITIK PENGHAKIMAN DAN IMPRESIONISTIK DALAM NOVER MEMORI IN SORONG   A.     SINOPSIS NOVEL   Menceritakan tentang seorang gadis bernama Ajeng yang memiliki 3 orang kakak yang saling berbeda sifat satu sama lain, yang pergi ke Sorong untuk urusan pekerjaanya menjadi reporter dan penyiar salah satu televise swasta yang bernama SENADA, sekaligus untuk mencari tahu tentang sosok perempuan yang sempat mendampingi ayahnya saat bertugas di Sorong selama dua tahun pada dua puluh Sembilan tahun yang lalu.             Awal keberangkatannya ke Sorong, ia berkeinginan untuk segera bertemu dan bertanya kepada anneke, sosok orang yang sempat mendampingi ayahnya yang merupakan seorang tentara yang sangat mencintai keluarganya. Selama di sorong ajeng tinggal di rumah sepupunya yang menjadi direktur di salah satu bank milik pemerintah di kota Sorong. Dua hari semenjak ajeng datang ke Sorong, ia di sambut dengan banyak sekali keributan yang terjadi, sehingga ini menjadi sebuah keberuntunga

KRITIK PENGHAKIMAN Karya Sastra JUDICIAL CRITICISM

Kritik penghakiman (judicial criticism) ialah kritik sastra yang berusaha menganalisis karya sastra dan menerangkan efek-efek sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, dan gayanya, serta mendasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluar-biasaan karya sastra. Contoh kritik penghakiman dapat dilihat pada uraian berikut ini. Membaca baris permulaan roman singkat Hamidah barangkali orang akan menyangka, inilah satu di antara pengarang sebelum perang yang menulis dengan teknik lain. Tetapi ternyata setelah kita lanjutkan membaca beberapa kalimat, teknik penulisannya seperti pada umumnya karya-karya masa itu: merupakan garis lurus dari awal sampai akhir. Hanya pengarang menggunakan kalimat-kalimat yang boleh menjadi kalimat akhir cerita sebagai pembuka cerita. Plot lurus seperti ini, tanpak kecakapan pengarang akan mengundang kelemahan-kelemahan, di antaranya faktor rasa ingin tahu pembaca kurang terpusa