BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Era globalisasi ditandai,
antara lain dengan meningkatnya kontak budaya dan komunikasi antarbangsa,
terutama dengan menggunakan bahasa internasional yaitu salah satunya adalah bahasa
Inggris. Sehubungan dengan hal tersebut, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
perlu dikukuhkan karena bahasa merupakan jati diri bangsa. Hal tersebut sesuai
dalam buku Kumpulan Putusan Konggres Bahasa Indonesia I-IX Tahun 1938- 2008 (2011:
85), bahwa bahasa Indonesia ditempatkan sebagai alat pemersatu, pembentuk jati
diri dan kemandirian bangsa, serta wahana komunikasi ke arah kehidupan yang
lebih modern dan beradab.
Hal tersebut menunjukkan
bahwa era globalisasi menuntut pentingnya peran bahasa asing dan perlunya
pemantapan peran bahasa Indonesia dengan menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan
mutu penggunaan bahasa Indonesia. Dengan demikian bahasa Indonesia diharapkan
akan tetap bertahan dan bahkan akan semakin berkembang , sehingga jati diri
bangsa melalui bahasa akan semakin kuat.
Era globalisasi merupakan
tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di
tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Bangsa Indonesia
dituntut untuk dapat mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan
melalui jati diri bahasa. Globalisasi dengan segala pengaruhnya akan berdampak
luas terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama bahasa. Dengan bahasa yang
semakin global, terutama bahasa Inggris yan dipakai oleh hampir semua bangsa di
dunia. Hal tersebut memungkinkan adanya penggerusan terhadap bahasa-bahasa yang
lemah dan tidak memiliki jati diri yang kuat.
Bangsa Indonesia yang
dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa
komunikasi antar daerah di Indonesia mempunyai peran yang sangat penting,
sehingga memiliki kedudukan istimewa. Selain itu bahasa adalah cermin dari
karakter bangsa seperti kata pepatah “Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Hasan Alwi (2001:39)sependapat
dengan pernyataan tersebut, bahwa “Bahasa Menunjukkan Bangsa”, merupakan
untaian kata dari kaum cerdikpandai dan para bijak-bestari zaman dahulu kala
yang selalu kita kaji ulang pada saat-saat yang dianggap tepat untuk
mengungkapkannya. Butir mutiara itu akan tetap penting dan selalu relevan,
terutama sehubungan dengan ciri keindonesiaan yang multietnis, multikultural, dan
(yang berakibat pada) multilingual.
Kutipan tersebut
menunjukkan bahwa kata mutiara tersebut tidak lekang oleh waktu dan memperkuat
anggapan bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu kala memang merupakan bangsa yang
beradab dengan ditandai keramahan, budi pekerti yang halus, dan bahasa yang digunakan
bangsa Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Hal tersebut memperjelas bahwa cara
masyarakat menggunakan bahasa menunjukkan cara berfikir masyarakat tersebut.
Karena bahasa adalah hasil dari sebuah pemikiran sehingga bahasa mencerminkan
kepribadian seseorang.
Oleh
karena itu, ungkapan bahwa bahasa menunjukkan bangsa tidak dimaksudkan untuk menyatakan
bahwa bahasa satu lebih baik dari bahasa yang lain. Maksud dari ungkapan itu
adalah bahwa ketika seseorang sedang berkomunukasi dengan bahasanya mampu
menggali potensi bahasanya dan mampu menggunakannya secara baik, benar, dan santun
merpakan cermin dari
sifat dan kepribadian pemakainya.
Pendapat
Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan
perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan
pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa
kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya
kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa
secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat
tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul
pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak baik dan tidak
santun.
Begitu
juga, ada orang yang berpura-pura halus dihadapan
orang lain tetapi sesungguhnya memiliki kepribadian buruk, pada suatu
saat berusaha tampil dengan bahasa yang halus agar nampak santun.
Namun, pada suatu saat orang itu tega “menusuk orang lain dari
belakang” dengan kata-kata yang isinya menjelek-jelekkan watak, sifat,
dan kepribadian orang lain. Karena sifat dan perilakunya hanya berpura-pura,
pada suatu saat kepribadian yang sesungguhnya seseorang itu akan muncul melalui
bahasanya.
Potret sederhana untuk memperlihatkan watak, sifat, dan
kepribadian seseorang dapat dilihat pada bahasa anak kecil. Orang tua
yang mendidik anak di rumah dengan bahasa yang santun, halus, dan
baik, ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah,
mereka juga akan berbahasa santun, halus, dan baik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kaitan antara teori kebahasaan
bahasa Indonesia dengan pembentukan kepribadian dan mental?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan
mengenai kaitan antara teori kebahasaan bahasa Indonesia dengan pembentukan
kepribadian dan mental.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat memberikan
pengetahuan mengenai kaitan antara teori
kebahasaan bahasa Indonesia dengan pembentukan kepribadian dan mental kepada
pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mental
Pengertian “mental”
secara defenitif belum ada kepastian defenisi yang jelas dari para ahli
kejiwaan. Secara etimologi kata “mental” berasal dari bahasa Yunani, yang
mempunyai pengertian sama dengan pengertian psyche,
artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.
Kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens
atau metis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan
demikian mental menurut Kartini Kartono dan Jenny Andari (1989:3) ialah hal-hal
yang berkaitan dengan psycho atau
kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan
ekspresi gerak-gerik individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi
(suasana) mental.
Sedangkan secara terminologi para ahli kejiwaan maupun
ahli psikologi ada perbedaan dalam mendefinisikan “mental”. Salah satunya
sebagaimana dikemukakan oleh Al-Quusy yang dikutip oleh Hasan Langgulung (1992:30),
mendefinisikan mental adalah paduan secara menyeluruh antara berbagai
fungsi-fungsi psikologis dengan kemampuan menghadapi krisis-krisis psikologis
yang menimpa manusia yang dapat berpengaruh terhadap emosi dan dari emosi ini
akan mempengaruhi pada kondisi mental.
Pengertian lain “mental” didefinisikan oleh Chaplin (1995:407) yaitu yang berhubungan dengan pikiran, akal, ingatan atau proses
yang berasosiasi dengan pikiran, akal dan ingatan.
Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa mental itu
terkait dengan, akal (pikiran/rasio), jiwa, hati (qalbu), dan etika (moral)
serta tingkah laku. Satu kesatuan inilah yang membentuk mentalitas atau
kepribadian (citra diri). Citra diri baik dan jelek tergantung pada mentalitas
yang dibuatnya.
Kondisi individu kelihatan gembira, sedih, bahkan sampai
hilangnya gairah untuk hidup ini semua tergantung pada kapasitas mental dan
kejiwaannya. Mereka yang tidak memiliki sistem pertahanan mental yang kuat
dalam menghadapi segala problematika kehidupan atau tidak memiliki sistem
pertahanan diri yang kuat untuk mengendalikan jiwanya, maka individu akan
mengalami berbagai gangguan-gangguan kejiwaan, yang berpengaruh pada kondisi
kepribadian yang bisa mendorong pada perilaku-perilaku pathologies (Kartini
Kartono dan Jenny Andari 1989:6-7).
Kondisi mental tersebut bisa digolongkan dalam dua
bentuk yaitu kondisi mental yang sehat dan kondisi mental yang tidak sehat.
Kondisi mental yang sehat akan melahirkan pribadi-pribadi yang normal. Pribadi
yang normal ialah bentuk tingkah laku individu yang tidak menyimpang dari
tingkah laku pada umumnya dimana seorang individu itu tinggal, dan pribadi yang
normal akan menunjukkan tingkah laku yang serasi dan tepat (adekuat) dan bisa
diterima oleh masyarakat secara umum, dimana sikap hidupnya sesuai dengan norma
dan pola hidup lingkungannya. Secara sederhana individu tersebut mampu beradaptasi
secara wajar.
Jadi pribadi yang normal dan metal yang sehat ini bisa
dirasakan pada kondisi diri kita atau kondisi perasaan kita yang cenderung
stabil, tidak banyak memendam konflik internal, suasana hati yang tenang, dan
kondisi jasmani yang selalu merasa selalu sehat.
Sementara itu yang perlu mendapatkan perhatian dan perlu
diwaspadai oleh setiap individu ialah kondisi mental yang tidak sehat, karena
kondisi mental yang tidak sehat itu akan membentuk suatu kepribadian yang tidak
sehat pula (abnormal).
Pribadi yang tidak sehat (abnormal) ialah adanya tingkah
laku seseorang atau individu yang sangat mencolok dan sangat berbeda dengan
tingkah laku umum yang ada di lingkungannya, atau disebut juga dengan
perilaku-perilaku yang menyimpang (abnormal). Secara umum bentuk mental yang
tidak sehat yaitu secara relatif bisa dilihat
pada individu jauh dari kemampuan beradaptasi atau selalu mengalami kesulitan dalam beradaptasi, dan memiliki
ciri bersikap inferior dan superior.
Hal yang menjadi barometer setiap kelainan tingkah laku
individu ialah kondisi mentalnya. Mental yang sehat itulah yang menentukan
tanggapan atas dirinya terhadap setiap persoalan, dan kemampuan untuk
beradaptasi, dan mental yang sehat pulalah yang menentukan apakah seseorang
atau individu memiliki gairah hidup atau justru mereka pasif dan tidak
bersemangat bahkan memiliki ketakutan untuk hidup.
Pada dasarnya untuk mengetahui apakah seseorang atau
individu sehat mentalnya atau tidak (terganggu mentalnya) tidaklah mudah diukur
atau diperiksa dengan alat-alat seperti halnya pada penyakit jasmani, akan
tetapi yang menjadi ukuran adalah merasakan diri kita sejauh mana kondisi
perasaan kita apakah sudah melampaui batas kewajaran atau tidak seperti, rasa
bersedih, kecewa, pesimis, rendah diri dan lain sebagai. Dan seseorang atau
individu yang terganggu kesehatan mentalnya, bisa dilihat pada tindakannya,
tingkah lakunya atau ekspresi perasaannya, karena seseorang atau individu yang
terganggu kesehatan mentalnya ialah apabila terjadi kegoncangan emosi, kelainan
tingkah laku atau tindakannya (Zakiyah Daradjat 1990:16).
Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berada dalam
diri seseorang atau individu yang terkait dengan psikis atau kejiwaan yang
dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk kepribadian, begitu juga
sebaliknya mental yang sehat akan melahirkan tingkah laku maupun kepribadian
yang sehat pula.
Sigmund Freud memberikan definisi bahwa kepribadian yang
sehat adalah adanya keseimbangan antara dorongan-dorongan dan motif-motif tiap
bagian jiwa dalam pemuasannya. Begitu juga Arthur Gorden melihat bahwa
kemampuan mengharmoniskan dorongan-dorongan psikis dengan realitas dengan
sendirinya akan terbentuk kepribadian yang sehat dan akan melahirkan tingkah
laku yang sehat pula (normal) (F. Patty, 1982:189-190).
Menurut Hurlock, ada
sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak.
1. Peran hati nurani
atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak
dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan
yang harus dilakukan.
2. Peran rasa
bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang
diharapkan dan melanggar aturan.
3. Peran interaksi
sosial dalam memberi kesempatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standar
perilaku yang disetujui dalam masyarakat, keluarga,sekolah, dan dalam pergaulan
dengan orang lain
B.
Pengertian
Kepribadian
Istilah kepribadian atau personality
berasal dari kata Latin ”persona” yang berarti topeng. Pada bangsa
Yunani kuno, para aktor memakai topeng untuk menyembunyikan identitas mereka
dan memungkinkan mereka memerankan tokoh dalam drama. Demikian juga pada bangsa
Roma, ”persona” berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain.
Dalam kehidupan
sehari-hari terdapat beberapa penggunaan istilah kepribadian. Diantaranya,
kepribadian sebagai sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang;
kepribadian merupakan pengaruh seseorang terhadap orang lain; ada kepribadian
yang menarik dan yang membosankan; kepribadian semata-mata faktor jasmaniah
atau semata-mata hasil dari kebudayaan dan kepribadian merupakan sejumlah sifat
seseorang.
Memang cukup banyak
pengertian dan pengunaan istilah kepribadian. Saat ini definisi pengertian
kepribadian kebanyakan mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Allport
(Sukmadinata, 2003). Menurut Allport ”personality is the dynamic
organization within the individual of those psychophysical systems that determine
his unique adjustment with the enviroment.” Kepribadian merupakan suatu
organisasi yang merujuk kepada suatu kondisi atau keadaan yang kompleks dan
mengandung banyak aspek.
Kepribadian bersifat
dinamis, tidak statis, melainkan berkembang secara terbuka sehingga manusia
senantiasa berada dalam kondisi perubahan dan perkembangan. Kepribadian
meliputi aspek fisik dan psikis yang saling mempengaruhi dan membentuk satu
kesatuan. Kepribadian selalu dalam penyesuaian diri yang unik dengan
lingkungannya dan berkembang bersama-sama dengan lingkungannya, serta
menentukan jenis penyesuaian yang akan dilakukan anak, karena tiap anak
mempunyai pengalaman belajar yang berbeda satu dengan lainnya.
Dalam perkembangan
kepribadian, konsep diri dan sifat-sifat seseorang merupakan hal atau komponen
penting. Konsep diri merupakan konsep, persepsi, maupun gambaran
seseorang mengenai dirinya sendiri, atau sebagai bayangan dari cermin diri.
Konsep diri seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh peran dan hubungan-nya
dengan orang lain, serta reaksi orang lain terhadap dirinya. Konsep diri ideal
merupakan gambaran seseorang mengenai penampilan dan kepribadian yang
didambakannya.
Setiap konsep diri
mempunyai aspek fisik dan psikis. Aspek fisik konsep diri merupakan konsep yang
dimiliki seseorang berkenaan dengan penampilannya, dan kesesuaiannya dengan
peran seks yang disandangnya. Aspek psikis berkenaan dengan kemampuan dan
ketidakmampuan dirinya, harga diri, dan hubungannya dengan orang lain. Sifat
merupakan kualitas perilaku atau pola penyesuaian yang spesifik. Misalnya,
reaksi seseorang terhadap masalah dan frustrasi, perilaku agresif dan defensif,
perilaku terbuka dan tertutup ketika berinteraksi dengan orang lain. Ciri sifat
tersebut ada yang terpisah dan ada yang terintegrasi dengan konsep diri. Sifat juga
mempunyai dua ciri menonjol yaitu: (1) individualitas yang diperlihatkan dalam kuantitas
ciri tertentu dan bukan kekhasan ciri bagi orang lain; serta (2) konsistensi yang
berarti seseorang bersikap dengan cara yang hampir sama dalam situasi dan kondisi
yang serupa. Konsep diri merupakan inti kepribadian yang mempengaruhi berbagai
sifat yang menjadi ciri khas kepribadian seseorang
C.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa dalam Dunia Pendidikan
Pada dasarnya bahasa adalah seperangkat kaidah untuk
berkomunikasi antar umat manusia, hakekat bahasa itu antara lain bahwa bahasa
itu sistematik, manasuka, ucapan, simbol, mengacu pada dirinya, komunikasi,
produktif, unik, universal, benda, objek yang dapat diteliti secara ilmiah,
daftar kata-kata dan tidak tertukarkan (Siswanto PHM, dkk. 2012:11-23). Secara
linguistik bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disepakati oleh anggota
kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi dan
mengidentifikasikan diri. Dengan demikian, bahasa adalah suatu tanda atau
lambang yang telah bersistem yang harus mendapatkan suatu kesepakatan seluruh
warga masyarakat yang terlibat dalam suatu lingkungan masyarakat yang bertujuan
sebagai alat bekerjasama, berkomunikasi, dan sarana identitas suatu masyarakat.
Sistem dalam bahasa adalah suatu aturan yang mengatur unsur-unsur bahasa
sehingga tanda atau lambang dapat mempunyai arti.
Menurut pendapat
Noam Chomsky (dalam Hendriyanto, 2013:18) menerangkan bahwa suatu bahasa yang
hidup ditandai oleh kreatifitas yang dituntut oleh aturan-aturan. Aturan-aturan
tata bahasa bertalian dengan tingkah laku kejiwaan dan manusia adalah
satu-satunya makhluk yang dapat belajar bahasa. bahasa yang hidup adalah bahasa
yang dapat dipakai dalam berpikir. Berdasarkan pendapat tersebut, batasan dari
bahasa adalah bahasa dapat digunakan sebagai sarana untuk berpikir. Hal ini
berkaitan dengan bahasa tulis, dengan mempelajari bahasa tulis manusia mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia.
Benyamin Lee dan
Sapir (dalam Hendriyanto, 2013:18) dalam hipotesisnya mengemukakan bahwa
struktur bahasa adalah suatu budaya yang menentukan apa yang orang lakukan dan
pikirkan. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan
dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa dan bahasa hanya semata-mata
digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu.
Dari pendapat para
ahli, ada persamaan yang jelas dalam hakekat bahasa. Persamaan itu adalah
bahasa ditempatkan sebagai alat komunikasi antarmanusia untuk mengungkapkan
pikiran atau perasaan dengan menggunakan simbol-simbol komunikasi, baik yang
berupa suara, gestur, maupun tanda-tanda bahasa berupa tulisan. Selain itu,
bahasa dilihat dari ilmu komunikasi dapat dibedakan dari dua sisi, yaitu sisi
formal dan fungsional. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat
yang terbayangkan yang dibuat menurut tata bahasa. secara fungsional, bahasa
diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan.
Setelah mengetahui hakekat bahasa, maka bahasa menpunyai peranan penting dalam
berbagai aspek.
Bahasa selain menunjukkan budaya tetapi juga kecerdasan
personal seseorang (intelegensi
linguistic). Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup
manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi
antarsesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah
sosial komunitas-komunitas masyarakat atau bangsa. Pemahaman bahasa sebagai
fungsi sosial menjadi hal pokok manusia untuk mengadakan interaksi sosial
dengan sesamanya. Bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya,
bahasa berfungsi sebagai: alat untuk menyatakan ekspresi diri, alat komunikasi,
alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan alat untuk mengadakan
kontrol sosial. Dalam interaksi dan hubungan sosial pada kehidupan manusia
tidak terlepas dari bahasa itu, tanpa bahasa pasti akan terasa sulit untuk
saling mengenal.
Empat fungsi yang diungkapkan diatas, salah satunya
menunjukkan cara yang bisa dikatagorikan sebagai lingkungan pendidikan yaiu
masyarakat. Didalam lingkungan daerah yang dekat dengan kota maupun daerah yang
jauh dari pusat kota, pendidikan diluar sekolah tentu saja yang berada dalam
masyarakat sangat dibutuhkan, karena bagi daerah seperti ini lingkungan
pendidikan yang menyediakan ilmu pengetahuan, keterampilan, atau performan yang
berfungsi dapat menggantikan pendidikan dasar utama.
Pendidikan itu merupakan suatu investasi strategis untuk
kemajuan bangsa dan negara. Negara itu dikatakan maju tidaknya tergantung
dengan pendidikannya. Dalam melaksanakan pendidikan maka toidak terlepas dari
peran bahasa. Bahasa ini sangat menunjang untuk melancarkan proses pendidikan.
Dengan bahasa yang baik dan benar akan mencerminkan output dari dunia pendidikan. Maka dari itu pendidikan sangat
membutuhkan bahasa, tanpa bahasa tidak akan bisa dijalankan.
D.
Penanaman Pendidikan Karakter melalui Bahasa
Menurut pandangan Islam karakter itu sama dengan akhlak. Akhlak dalam
pandangan Islam adalah kepribadian. Pendidikan Karakter ini sebenarnya
menekankan dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan kepribadian.
Pendidkan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi
ideal atau spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte (Majid, 2011:8).
Sejak tahun
1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Menurut Ryan
dan Bohlin (dalam Majid, 2011:11) mendefinisikan karakter menjadi tiga unsur
pokok yaitu mengetahui kebaikan (knowing
the good), mencintai kebaikan (loving
the good), melakukan kebaikan (doing
the good). Dari tiga unsur tersebut bahwa karakter itu harus mengetahui
kebaikan, mencintai dan melakukan kebaikan untuk kepentingan agama dan tidak
keluar dari norma-norma hukum agama maupun negara.
Menurut Hornby dan
Parnwell (dalam Majid, 2011:11) menjelaskan bahwa karakter adalah kualitas
mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Jadi karakter itu adalah
sifat pada diri sesorang yang melekat pada diri seseorang yang didalamnya
memiliki sesuatu yang positif untuk menjalankan kehidupannya dengan penuh
keyakinan.
Dari pendapat para
ahli diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah
pendidikan yang mengedepankan pendidikan watak, sifat, atau hal-hal yang memang
sangat mendasar yang ada pada diri seseorang dan hal-hal yang sangat
abstrakyang ada pada diri seseorang yang sering disebut orang sebagai tabiat
atau perangai. Apapun sebutanya karakter ini adalah sifat batin manusia yang
memengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya.
Sikap dan tingkah
laku seorang individu dapat dinilai oleh masyarakat sekitarnya sebagai sikap
dan tingkah laku yang diinginkan atau ditolak, dipuji, baik maupun jahat.
Dengan mengetahui adanya karakter (watak, sifat, tabiat atau perangai)
seseorang dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap berbagai fenomena
yang muncul dalam diri ataupun hubungannya dengan orang lain, dalam berbagai
keadaan serta bagaimana mengendalikannya. Karakter dapat ditemukan dalam
sikap-sikap seseorang, terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap
tugas-tugas yang dipercayakan padanya dan dalam situasi-situasi yang lain.
Seiring perkembangan zaman yang terus berubah, memaksa
pendidikan yang dinilai mempunyai peran besar harus pandai berinovasi. Hal-hal
yang memaksa adanya inovasi pendidikan antara lain: besarnya eksploasi
pendidikan, melonjaknya anspirasi dikalangan masyarakat luas, kelemahan sistem.
Adanya inovasi dalam perbaikan pendidikan di negara kita antara lain dengan
adanya pendidikan karakter, Koesuma dalam artikelnya menyatakan tujuan
pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan
esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi
identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dan kualitas
seseorang secara pribadi mampu diukur.
Pendidikan berbasis karakter merupakan salah satu upaya
dalam pembaharuan di dunia pendidikan, besar pengaruh penanaman karakter pada
anak dianggap sebagai hal pokok. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan
karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidkan karakter ini harus dibarengi dengan
kesungguhan dari berbagai pihak untuk mewujudkannya. Dunia pendidikan, media
massa, para pemimpin, masyarakat, dan keluarga harus menyambut dan melakukannya
karena tanggung jawab ini milik perorangan. Kesadaran akan pendidikan karakter
untuk generasi bangsa akan melahirkan generasi yang berkualitas, berkarakter
dan bermartabat. Maka dari itu kesadaran akan jati diri manusia Indonesia yang
berkarakter Indonesia ini harus benar-benar dioptimalkan sehingga angka kolusi,
korupsi, serta nepotisme di Indonesia dapat ditekan.
E.
Peran Bahasa Indonesia dalam Pendidikan Karakter Bangsa Indonesia
Bahasa mempunyai kekuatan yang dahsyat dalam pembentukan
kepribadian karena didalam bahasa terdapat energi positif yang mampu membentuk
kristal indah dalam tubuh manusia (Pamungkas, 2012:19). Bahasa memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan
mengembangkan dirinya dengan bahasa. Bahasa merupakan pola struktur kehidupan
masyarakat yang beradab. Menurut Nababan (dalam Pamungkas, 2012:19) manusia
menggunakan bahasa taatkala manusia dalam kondisi bangun (sadar) dan dalam
kondisi tidur pun manusia menggunakan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu direpublik Indonesia tentu mempunyai fungsi yang sangat dominan dalam
berbagai aspek kehidupan.
Bahasa Indonesia
sangat dibutuhkan perananya oleh masyarakat Indonesia, yang mempunyai fungsi
yang sangat jelas dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia juga
mempunyai kekuatan dalam pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter
Indonesia.
Pendidikan karakter marak dibicarakan dimana-mana. Dalam
berbagai seminar dari tingkat lokal sampai nasional, hal ini dilakukan karena
pada zaman ini sebagian orang Indonesia telah kehilangan karakter Indonesia.
Untuk menumbuhkan kembali karakter Indonesia, maka perlu adanya pendidikan
karakter yang ditanamkan sejak dini. Yang pada dasarnya anak yang akan dididik
agar menjadi anak yang berkarakter indonesia.
Ratna (dalam Pamungkas, 2012:22) menyampaikan bahwa pada
usia dibawah tujuh tahun merupakan saat yang tepat bagi anak untuk diajarkan
pendidikan karakter. Menurut Ratna, usia tersebut sangat tepat untuk
pembentukan watak, akhlak, atau karakter bangsa. Dan di dalam bangsa Indonesia
bisa dibentuk melalui bahasa Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia
yang kaya akan kekayaan alam, negara yang relatif aman, tentram, masyarakatnya
masih mengedepankan gotong-royong, hidup dalam kebersamaan. Bahasa Indonesia
merupakan bahasa yang memegang peran penting dalam Republik Indonesia.
Kesadaran akan pentingnya bahasa Indonesia harus dipikirkan serta diterapkan
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa,
dan negara.
Untuk mewujudkan karakter bangsa kembali, maka para
generasi-generasi penerus bangsa perlu diberikan pembelajaran tentang
penggunaan bahasa Indonesia yang baik secara lisan maupun tertulis, susah
dibayangkan juka generasi penerusnya bahasanya rancu, dan lama kelamaan karakter
bangsa Indonesia terus terkikis. Para pendidik harus mengajarkan bahasa
Indonesia bukan hanya teori saja tetapi juga harus bisa memratikkannya, tetapi
harus memberi contoh berbahasa yang baik, dalam situasi formal dan nonformal.
Bisa dikatakan berbahasa yang baik itu yaitu mampu menggunakan bahasa sesuai
situasi dan kondisi. Dengan mampu menggunakan bahasa yang baik, tentu juga
berpengaruh dalam tingkah laku, watak, kepribadian atau karakter yang baik.
Bangsa indonesia akan bermartabat apabila masyarakatnya mampu menggunakan
bahasa Indonesia yang baik, bangga terhadap bahasanya, dan selalu menggunakan
bahasa Indonesia dengan santun, berarti sudah mampu menunjukkan karakter bangsa
Indonesia.
Bangsa memiliki karakternya sendiri-sendiri. Karakter
itulah yang menjadi trayek kemajuannya sendiri-sendiri. Jalan kemajuan suatu
bangsa itu adalah jalan karakternya. Karakter itu adalah suatu cetakan, dan itu
menjadi dasar kepribadiannya. Karakter inilah yang membedakan, satu Negara
dengan Negara lain. Jika suatu bangsa sudah kehilangan karakter, maka itu
adalah kehilangan segala-galanya.
Fungsi dari karakter bangsa untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya
bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya, karakter bangsa yang
bermartabat. Sedangkan tujuan karakter bangsa adalah menanamkan jiwa
kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan.
Ciri-ciri Karakter dan moral Bangsa indonesia sejak tahun 1965 pelan-pelan
berubah. Kapitalisme-liberalisme pelan-pelan mengikis karakter dan perilaku
bangsa Indonesia. Jiwa dengan semangat Pancasila pelan-pelan dibuat luntur,
kemudian semangat dagang, yang efisien, kreatif, dan kompetitif dipompakan di
jiwa raga bangsa Indonesia.
Jiwa dan semangat merebut kemerdekaan yang dulu dimiliki bangsa ini punah
secara pelan tapi pasti, berubah kearah opportunik, berebut (hasil)
kemerdekaan. Melewati tahun 1970 karakter dan moral yang populis dan sosialis
berubah kearah karakter materialistis-individualistis. Perubahan sistem
politik-ekonomi yang kapitalis-liberalis terus merambah ke berbagai jiwa
birokrasi pemerintahan dan dunia usaha. Singkat kata, investasi melahirkan
regulasi. Regulasi melahirkan privatisasi. Maka lahir privatisasi, efisiensi,
peningakatan produksi, bermuara ke pertumbuhan ekonomi. Tetapi bersamaan dengan
itu lahir pula penyakit birokrasi dan korupsi. Maka tahun-tahun selanjutnya
korupsi dan demoralisasi merajalela dan membudaya. Akibatnya bisa kita lihat
sekarang ini.
Untuk
mengubah karakter Bangsa Indonesia yang telah berubah menjadi karakter yang
diangkap buruk, maka bahasa-lah yang merupakan salah satu caranya, karena
bahasa merupakan cerminan dari watak, sifat, perangai, dan budi pekerti
penggunanya.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan dan fungsi yang penting. Bahasa Indonesia
berdiri sebagai lambang kebanggan dan sebagai lambang identitas dari bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia menunjukan, identitas, latar belakang dan budaya
dari bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan pembentuk karakter nasional.
Namun dalam pembentukan ini terdapat tantangan-tantangan.
Tantangan pembentukan karakter nasional melalui bahasa
di Indonesia terdiri dari tantangan internal dan eksternal. Secara internal
bahasa persatuan ini harus menghadapi realita bahwa Indonesia terdiri dari
berbagai bahasa dan budaya. Sehingga dalam proses sosialisasinya bahasa
Indonesia harus menuntaskan kegamangan antara menampilkan bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang dapat digunakan seluruh masyarakat tanpa melenyapkan bahasa
daerah. Hal ini diperumit dengan suatu kondisi dimana beberapa bahasa daerah
terancam punah diakibatkan sosialisasi bahasa Indonesia yang tidak mengindahkan
perawatan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus dilestarikan. Sehingga
pada daerah yang masih tertinggal, bahasa ibu ditinggalkan karena tidak lebih prestise
dibandingkan bahasa Indonesia. Di satu sisi bahasa Indonesia juga harus
menghadapi realita bahwa penuturnya sendiri sangat sedikit yang mau mempelajari
kaidah bahasa yang baik dan benar.
Disisi lain, kesadaran dari pemerintah, media, dan
masyarakat terhadap konsep bahasa persatuan masih rendah. Usaha para budayawan
dan ahli bahasa Indonesia belum didukung penuh oleh kebijakan strategis dan
merakyat dari pemerintah. Ditambah lagi peran media yang semakin luas tidak
diimbangi oleh usaha sosialisasi bahasa Indonesia yang baik dan benar membuat
masyarakat kini lebih merespon stimulasi dari asing serta semakin jauh dari
kaidah berbahasa yang benar. Bukannya masyarakat harus tertutup dari pengaruh
asing, namun kemampuan untuk menyaring informasi, gaya bahasa, dan perilaku
inilah yang menjadi pokok masalah terjadinya kegamangan identitas/karakter yang
dimiliki Indonesia.
Pengaruh secara global
bahasa Melayu tersebut tentunya akan juga berpengaruh di Indonesia meskipun
akan membutuhkan proses yang sangat lama. Pengaruh tersebut berkaitan juga
tingkat kesadaran pemerintah, media, dan masyarakat Indonesia tentang
pentingnya bahasa Indonesia sebagai pemersatu dan sebagai pembentuk karakter
Bangsa Indonesia. Kesadaran ini tidak hanya pada bagian luar pemahaman saja,
namun selayaknya menjadi penghayatan dan pengidentifikasian seluruh masyarakat
sebagai satu bangsa.
Marilah sadar akan pembentukan karakter yang semangat.
Semangat Nasionalisme, dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Satu
warga Indonesia harus bersama-sama membaharui keburukan karakter bangsa.
Kebiasaan-kebiasaan buruk perlu dirubah menjadi kebiasaan yang baik, demi
mempersatukan bangsa.
Dengan membina dan menanamkan bahasa yang baik dan
benar, maka akan terwujud karakter
bangsa Indonesia yang berkualitas, mampu menyaring budaya dari luar. Sehingga
masyarakat bangsa Indonesia mempunyai karakter Indonesia.
F.
Kesantunan
Berbahasa Indonesia sebagai Pembentuk Kepribadian Bangsa
Secara teoretis, semua orang harus berbahasa secara santun.
Setiap orang wajib menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan
komunikasi dapat tercapai. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi
dan saat menggunakan bahasa juga harus memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa baik kaidah linguistik maupun kaidah kesantunan agar tujuan berkomunikasi dapat
tercapai. Kaidah berbahasa secara
linguistik yang dimaksud antara lain digunakannya
kaidah bunyi, bentuk kata, struktur kalimat, tata makna secara benar agar komunikasi berjalan lancar. Setidaknya, jika komunikasi secara tertib menggunakan
kaidah linguistik, mitra tutur akan
mudah memahami informasi yang disampaikan oleh penutur.
Begitu juga dengan kaidah kesantunan. Meskipun secara baku bahasa Indonesia belum memiliki kaidah
kesantunan secara pasti, setidaknya
rambu-rambu untuk berkomunikasi secara santun sudah dapat diidentifikasi.
Ketika berkomunikasi, seorang penutur
harus memperhatkan prinsip kualitas. Artinya,
jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain, informasi yang disampaikan harus didukung dengan data. Prinsip kuantitas,
artinya kerika berkomunikasi dengan orang lain, yang dikomunikasikan harus
sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip relevansi,
artinya ketika berkomunikasi yang dibicarakan harus relevan atau berkaitan
dengan yang sedang dibicarakan dengan mitra tutur. Dan, yang terakhir adalah
prinsip
cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di samping harus
ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara
menyampaikan. Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya pokok
masalah yang dibicarakan sangat bagus dan menarik, namun jika cara menyampaikan
justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata yang digunakan
terasa kasar, atau cenderung melecehkan, tujuan komunikasi dapat tidak
tercapai.
Leech (1993) dalam bukunya Principles of Pragmatics mengajukan 7 (tujuh) maksim kesantunan, yaitu (a) maksim kebijaksanaan “tact
maxim” (berilah keuntungan bagi mitra
tutur), (b) maksim kedermawanan “generosity maxim”
(maksimalkan kerugian pada diri sendiri), (c) maksim pujian “praise maxim” (maksimalkan pujian kepada mitra
tutur), (d) maksim kerendahan hati
(minimalkan pujian kepada diri sendiri), (e) maksim kesetujuan (maksimalkan kesetujuan dengan mitra tutur), (f) maksim simpati “sympathy maxim” (maksimalkan
ungkapan simpati kepada mitra tutur),
dan (g) maksim pertimbangan “consideration
maxim” (minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur’ dan maksimalkan
rasa senang pada mitra tutur).
Leech memandang prinsip kesantunan sebagai “piranti” untuk
menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung
(indirect) dalam mengungkapkan maksudnya.
Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar ujaran
terdengar santun. Penutur biasanya menggunakan implikatur. Implikatur adalah
apa yang tersirat dalam suatu ujaran. Jika kita bedakan “apa yang dikatakan” (what is said) dan “apa yang
dikomunikasikan” (what is communicated),
implikatur termasuk apa yang dikomunikasikan. Prinsip kesantunan Leech ini oleh beberapa ahli pragmatik
dipandang sebagai usaha “menyelamatkan muka Grice, karena prinsip
kesantunan Grice sering tidak dipatuhi daripada diikuti dalam praktik
penggunaan bahasa yang sebenarnya”. Suatu
tuturan dikatakan santun bila dapat meminimalkan pengungkapan pendapat yang tidak santun (Leech, 1993: 81).
Selain itu, pemakaian bahasa agar santun dapat juga
dinyatakan
menggunakan bentuk ironi (Arsim, 2005). Penerapan bentuk ironi, penutur
bertutur dengan santun, tetapi yang dituturkan itu tidak benar, dan karena itu
daya ilokusinya (maksudnya) adalah yang sebaliknya. Jadi dengan menerapkan
prinsip ini, penutur mengungkapkan daya ilokusi yang tidak santun secana santun.
Misalnya: “Terimakasih Anda sangat perhatian dengan keluarga saya, bahkan
sempat antar-jemput istri saya!” padahal yang dimaksudkan penutur adalah bahwa
pendengar telah terlalu jauh mencampuri urusan keluarganya yang seharusnya
tidak pantas dilakukan oleh pendengar.
Fakta pemakaian BI yang santun
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Penutur
berbicara wajar dengan akal sehat.
2. Penutur
mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan.
3. Penutur
selalu berprasangka baik kepada mitra tutur.
4. Penutur
terbuka dan menyampaikan kritik secara umum.
5. Penutur
menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil menyindir.
6. Penutur
mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.
Selain itu, ada pula fakta bahwa pemakaian BI yang santun ditandai
dengan pemakaian bahasa verbal, seperti (a) perkataan ”tolong” pada waktu menyuruh
orang lain, (b) ucapan ”terima kasih” setelah orang lain melakukan tindakan
seperti yang diinginkan oleh penutur, (c) penyebutan kata ”bapak, Ibu” dari
pada kata ”Anda”, (d) penyebutan kata ”beliau” dari pada kita ”dia” untuk orang
yang lebih dhormati, (e) pergunakan kata ”minta maaf” untuk ucapan yang
dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur.
Di samping bentuk-bentuk verbal seperti di atas, perilaku
santun juga dapat didukung dengan bahasa non-verbal, seperti (a) memperlihatkan
wajah ceria, (b) selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara, (c) sikap
menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur, (d) posisi tangan yang selalu
merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang). Pemakaian bahasa non-verbal
seperti itu akan dapat menimbulkan ”aura santun” bagi mitra tutur.
Meskipun sebenarnya banyak cara agar dalam berbahasa selalu santun,
namun ada pula fakta bahwa komunikasi yang terjadi sering tidak santun.
Meskipun belum cukup data untuk menarik kesimpulan bahwa indikator di bawah ini
merupakan penyebab ketidaksantunan dalam berbahasa, setidaknya sudah dapat
dirasakan bahwa tuturan itu tidak santun.
1. Penutur
menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar.
2. Penutur
didorong rasa emosi ketika bertutur.
3. Penutur
protektif terhadap pendapatnya.
4. Penutur
sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur.
5. Penutur
menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap
mitra tutur.
Atas dasar identifikasi di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian BI.
Pertama, ada orang yang memang tidak
tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang
harus dilakukan adalah memperkenalkan
kaidah
kesantunan dan mengajarkan pemakaian
kaidah tersebut dalam berkomunikasi. Hal ini biasanya terjadi pada anak kecil yang memang belum
cukup pengetahuannya mengenai kesantunan berbahasa Indonesia. Kedua, ada orang
yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih
terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia). Jika faktor ini yang
menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah secara perlahan-lahan
meninggalkan kebiasaan lama dan menyesuaikan dengan kebiasaan baru. Ketiga,
karena sifat bawaan “gawan bayi” yang memang suka berbicara tidak santun di
hadapan publik. Jika faktor ini penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah
mengeliminasi orang tersebut dari peran publik (tidak mendudukan dalam suatu
posisi tokoh/pimpinan) agar tidak menyebarkan “virus” ketidaksantunan kepada
masyarakat. Sifat-sifat bawaan seperti itu sangat sulit untuk disembuhkan. Jika
mereka tetap dipertahankan sifat-sifat jelek yang mereka miliki akan menjadi
“virus” menular pada generasi muda berikutnya.
Menurut Mutsyuhito
Solin bahasa Indonesia berperan membetuk karakter dan kepribadian Indonesia
melalui penggunaan bahasa Indonesia seperti berbicara, mendengar, membaca dan
menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Semakin intensif
penggunaan bahasa dan semakin teliti dan benar pilihan bahasa yang digunakan
diyakini semakin tinggi karakter dan kepribadian orang yang menggunakannya.
Kepribadian Indonesia banyak diilhami oleh Sastra Indonesia sebagai sumber
inspirasi bagi terwujudnya bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia, oleh karena
itu membaca sastra Indonesia hingga melek sastra diyakini dapat memperkuat
identitas dan kepribadian Indonesia.
Menurut Rukni Setyawati sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai lambang kebanggaan bangsa, lambang identitas nasional, alat pemersatu,
dan alat komunikasi antardaerah dan antarkebudayaan. Sebagai lambang kebangsaan
bahasa Indonesia mampu mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari
rasa kebanggaan kita. Bahasa juga sebagai sarana komunikasi antarmanusia yang
kita sebut sebagai fungsi komunikatif.Seseorang dikatakan berjati diri
Indonesia jika dapat berbahasa Indonesia dengan baik, mencerminkan kepribadian
keindonesiaan, serta memiliki kecintaan dan kebanggaan sebagai orang Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Bahasa merupakan suatu hal
yang dianggap perlu untuk dilaksanakan pada lingkungan pendidikan, karena
pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa disadari
atau dipelajari secara langsung yaitu tanpa melalui pendidikan secara formal
untuk mempelajarinya, sebaliknya memperolehnya dari bahasa yang dituturkan oleh
ahli masyarakat di sekitarnya. Bahasa diberikan pada lingkungan pendidikan, dan
dimulai dari usia anak anak, sehingga penanaman nilai-nilai yang diberikan
sejak anak-anak dinilai lebih maksimal dari pada diberikan pada usia dewasa. Bahasa
Indonesia memegang peranan penting dalam pendidikan karakter bangsa untuk
membentuk karakter bangsa Indonesia. Apabila masyarakat bangsa Indonesia mampu
berbahasa Indonesia, maka terbentuklah karakter bangsa Indonesia.
B.
Saran
Untuk mengetahui lebih jauh dan lebih banyak bahkan
lebih lengkap mengenai pembahasan dalam
mata kuliah linguistik pembaca dapat membaca dan mempelajari
buku-buku dari berbagai pengarang, karena di dalam makalah ini penulis hanya
membahas mengenai pembentukan
moral dan kepribadian bangsa dalam kaitan dengan teori kebahasaan.
Di sini kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan penulisan makalah-makalah selanjutnya sangat diharapkan.
Comments